Wednesday, September 6

Sepeda



I do envy Sasha. She can ride a bike very well now (bisa lepas tangan gitu??)
Oh gosh, I really have to learn how to ride a bike here! Bukannya gue gak bisa sih, tapi gak lancar aja.. Dulu waktu jaman SD gue pernah trauma pas belajar sepeda - nyemplung di got :( - walhasil, setelah itu gue agak2 takut naik sepeda. Emang sih lama2 bisa naik sepeda, tapi tetep aja rada2 nervous, apalagi kalo ada kendaraan lain dari arah seberang. Deg-degan banget.. Sempet juga sih waktu SMA gue punya sepeda, tapi gue gak terlalu sering pake kendaraan itu, soalnya ya itu tadi, agak nervous. Waktu di Bandung, sepeda yang sama gue boyong juga dengan alasan mau dipake sama sepupu gue. Tapi ternyata nggak juga tuh, karena rumah kita di Bandung deket jalan besar dan agak susah buat berkendara sepeda. Banyak banget mobil, angkot, dan bis yang lewat dengan kecepatan tinggi.

Trauma masa kecil waktu belajar naik sepeda bikin gue mengkerut untuk belajar naik motor. Apalagi kayaknya bobot motor lebih besar dari sepeda, so it is more difficult to manage (bener gak sih?). Walhasil gue gak pernah tertarik belajar naik motor, cukup jadi pelanggan setia ojek aja.

Nah, kayaknya di Lund (dan mungkin di Sweden atau di Eropa?) sepeda adalah kendaraan vital (kalau di Jakarta belakangan ini mungkin motor kali ya?). Selain murah, sepeda juga bikin hidup lebih mudah, begitu kata Manny, temen gue di koridor. Banyak sekali penduduk di sini yang berkendara sepeda dengan alasan lebih irit dibanding naik bis. Memang iya sih, kalau kita beli sepeda bekas, lewat lelang atau lewat tangan ke dua (well, bisa jadi tangan ke 3, 4, 5, atau malah 100?), harga sepeda berkisar SEK 650 sampai SEK 1000, atau sekitar Rp. 780,000 sampai Rp. 1,200,000 (SEK 1 = Rp. 1,200). Kalau sepeda baru ya lebih dari itu harganya. Sementara kalau naik bis, satu kali naik itu SEK 12. Tiket yang sama bisa kita keep sampe satu jam ke depan, jadi kalau mau ganti bis dalam waktu satu jam, kita bisa gratis. Ada juga kartu langganan bulanan bis dalam kota Lund seharga SEK 340 yang bisa kita pake sepuas kita selama menumpang bis di dalam kota. Atau pilihan lain adalah kartu isi ulang untuk naik bis atau kartu diskon (Rabattkort) seharga SEK 200 yang valid seumur hidup. Dengan kartu ini kita bisa dapet diskon tiap naik bis, dari SEK 12 jadi SEK 9.6.

Nah alternatif transportasi di Lund sebenarnya banyak, tapi yang paling murah tetep sepeda. Memang awalnya gue belum tertarik beli sepeda. Selain gak lancar mengendarai sepeda, jalanan juga licin karena hujan, dan akan lebih bahaya lagi kalau udah winter, karena jalanan tertutup salju. Apalagi sampai sekarang gue belum tau jalan2 di Lund, selain dari rumah (Vildanden) - kampus (Solvegatan) - central - rumah Dwi (Kamnarsvagen). Tapi pagi ini gue mulai tergoda untuk beli sepeda juga. Selain sepeda nge-tren banget di kota ini (baru satu biji motor yang gue liat selama di sini, itu juga baru sore ini!), dia juga emang bikin hidup lebih mudah dan murah. Punya sepeda pribadi sama aja kayak punya mobil pribadi - bedanya adalah kalau sepeda parkirnya gratis, hehehe. Kita bisa lebih mobile juga. Selain itu memang sepeda bikin kita bisa saving banyak untuk transportasi. Memang pengeluaran untuk beli sepeda lumayan gede, tapi itu cukup sekali aja, selanjutnya kita bisa keliling kota gratis sepuasnya. Coba bandingin dengan harga tiket diskon bis, sepuluh hari di sini aja gue udah spend SEK 400 untuk bis, mengingat gue emang mobile terus dan juga males jalan kaki. Mungkin dalam waktu sebulan gue bisa ngabisin SEK 600 kalo gak terus2an naik bis, dan dengan jumlah yang sama gue udah bisa beli sepeda :(
Dari sisi investasi, sepeda juga jadi investasi yang bagus buat mahasiswa, karena kita bisa jual lagi kalau pas mau pulang nanti. Malahan bisa jadi kita untung waktu menjualnya, atau paling nggak balik modal lah mengingat demand sepeda di Lund ini tinggi banget.

***
Now seriously, I am thinking of getting a bike for the sake of efficiency. Gue harus segera melupakan sepeda-phobia gue, dan belajar menghemat. Bukan karena pelit atau tergantung sama jatah beasiswa sih. Tapi karena gue pengen jalan2 ke Paris.. Hehehehe..

Tuesday, September 5

Dance with My Father (Luther Vandross)

Back when I was a child,
before life removed all the innocence
My father would lift me high
and dance with my mother and me and then
Spin me around 'til I fell asleep
Then up the stairs he would carry me
And I knew for sure I was loved
If I could get another chance, another walk,
another dance with him
I'd play a song that would never, ever end
How I'd love, love, love
To dance with my father again

When I and my mother would disagree
To get my way, I would run from her to him
He'd make me laugh just to comfort me
Then finally make me do just what my mama said
Later that night when I was asleep
He left a dollar under my sheet
Never dreamed that he would be gone from me

If I could steal one final glance,
one final step,
one final dance with him
I'd play a song that would never, ever end
'Cause I'd love, love, love
To dance with my father again

Sometimes I'd listen outside her door
And I'd hear how my mother cried for him
I pray for her even more than me
I pray for her even more than me
I know I'm praying for much too much
But could you send back the only man she loved
I know you don't do it usually
But dear Lord she's dying
To dance with my father again
Every night I fall asleep and this is all I ever dream



Allingavagen 5D, 516
20060905, 00:40 AM
With Sen's, Desai's and Cypher's books on the floor;
far away from home, I miss you even more, Dad.

From Center to Periphery




From Center to Periphery. Hahaha, gue suka istilah ini [gambar di atas cukup mewakili perubahan dari center ke periphery gak sih? ;)] Pertama kali gue denger istilah ini dari Chia Ling, mahasiswa PhD Sosiologi di Lund University, yang sempet diundang untuk bicara ttg intercultural experience waktu masa orientasi kemarin. Chia Ling, lupa umurnya berapa, asalnya dari Taiwan, dan ambil PhD di Swedia karena tertarik dengan gerakan feminisme Swedia. Yeah, feminisme di Swedia benchmark nya mungkin bisa dilihat dari eksistensi Partai Feminis Swedia (kemarin baru dapet brosur mereka, sayang pake bahasa ayam (baca: bahasa Swedia). Chia Ling yang lagi pregnant, share ke kita ttg pengalamannya tinggal di Swedia, ttg bagaimana dia survive di sini, dan bagaimana orang memperlakukan dia di sini. Menurut Chia Ling, kehamilannya sempet dianggap oleh orang setempat sebagai imigran yang memanfaatkan social security Swedia, a.k.a. wasting Swedish money. Waduh. Katanya orang nordic pada baik2 dan sopan, tapi tetep aja ya..

Dari berbagai pengalamannya, Chia Ling cerita ttg masa2 awal kepindahannya di Swedia di mana dia merasa seperti orang yang pindah dari pusat ke pinggiran (center to periphery). Sebelum pindah ke Swedia, Chia Ling sempet ambil Master di UK, tapi originally dia tinggal di Taiwan. Di negaranya Chia Ling pastilah bicara dalam bahasanya sendiri, tinggal dengan keluarga dan lingkungannya sendiri, makan traditional food, sangat familiar dengan pemerintahan sekaligus juga budaya dan kebiasaan orang Taiwan. Chia Ling was the center as she lived in her own society. Tapi begitu dia pindah ke Sweden, Chia Ling berubah berada di periphery karena dia gak bisa bahasa Swedia while semua orang bicara dalam bahasa Swedia, petunjuk di dalam bis, kereta, restauran, bahkan instruksi dalam kemasan makanan instan juga pake bahasa ayam ini. Dia juga gak familiar dengan kebiasaan dan budaya setempat. Apalagi dengan makanannya :( Chia Ling is put at the corner. Periphery. Marginalized. Aha!

***
Sebenarnya gue udah aware dengan sort of cultural shift atau cultural gap atau apalah namanya. Yaya, Doni, Stella, Tim CC dan Robin Taylor sempet ngasih tau bahwa tinggal di luar negeri gak gampang. Yaya, Doni n Robin malah sempet ngasih tau gue ttg fase yang akan dihadapi sama orang yg pindah domisili (excitement atau honeymoon phase - sadness - down - adaptive n happy). Jadi dijalanin aja, gitu kata si Yaya.

Back to this Center to Periphery thing. Pengalaman Chia Ling itu ya pengalaman gue banget! Dan juga pengalaman banyak temen2 gue yang bukan berasal dari Swedia. Yang paling menonjol ya masalah bahasa. Untungnya orang sini pada bisa berbahasa Inggris, jadi gue gak perlu pake bahasa ayam (baca: bahasa Swedia). Tapi sialnya, di banyak occassion gue jadi salah terus. Misalnya waktu shopping (sumpah, shopping was no fun at all!) gue sering salah beli bahan deterjen, bumbu2, atau daging. Emang sih ada tulisannya, tapi tulisannya dalam bahasa ayam. Yang bisa gue tau cuma harganya aja. Yang menyiksa juga adalah waktu nyuci baju di Laundry Room. Mesinnya sih canggih karena udah ada sabun dan softenernya (yippy.. gue bisa ngirit karena gak perlu beli deterjen, dan gak perlu salah shopping lagi!..), tapi petunjuknya lagi2 dalam bahasa ayam. Huh... sebel.. Oh iya, sebelum nyuci kita harus booking waktu dulu, dan lagi2 bookingnya lewat mesin otomatis yang perintahnya dalam bahasa ayam. Oh....:( Belum selesai di situ, setelah nyuci kita bisa ngeringin cucian pake 2 jenis mesin: mesin yang muter2 biasa, atau mesin pengering yang kayak lemari, jadi baju kita digantung di dalamnya. Canggih sih, tapi apa bedanya?, dan gimana gue bisa tau cara makenya? Untung aja waktu awal nge laundry ada cowok Swedia yang baik mau ngajarin gue make mesin itu (sialnya gue selalu lupa bawa kamus kalo nge laundry!), kalo nggak mungkin gue bakalan ngejemur cucian di kamar. Hahaha.. Oh iya, satu lagi, ada juga mesin press yang bisa bikin baju kita lurus kayak abis disetrika.. Aduh... canggih banget sih, tapi forget it lah, gue udah pegel sama bahasa dan dunia ayam ini....

To make things even worse, pengalaman gue berada di periphery ternyata bukan hanya waktu dealing dengan orang atau alat yang berbahasa Swedia. Tapi juga dengan hal lain. Misalnya, dengan bahasa Inggris. Kirain, dengan pengalaman bertahun2 kerja sama organisasi internasional, gue gak akan punya masalah dengan bahasa Inggris di kelas. Kenyataannya tidak sama sekali! Komunikasi verbal mungkin gak ada masalah, tapi giliran denger dosen ngomong, baca paper, atau baca buku, gue merasa berada jauh... di pinggir. Susah banget memahami text book, apalagi gue udah 6 tahun absen dari dunia akademis, jadilah gue harus usaha keras mengingat kembali trik2 untuk membaca textbook (abis di kantor khan gak pernah baca tulisan lebih dari 20 lembar). Nulis juga jadi masalah, karena di kantor bahasanya selalu straight forward (background-problems-recommendation) dan dalam bentuk dot points. Sekarang gue harus nulis selayaknya reseacher dan sifatnya akademis. Susah banget... Waktu pre-course assignment gue dibahas di dalam diskusi kecil, dosen gue dengan nicenya bilang "Your paper is very interesting, it is also well written in English, but it is not an academic writing. It is a report..." Hiks... malunya... Again, gue merasa berada di periphery lagi karena udah lama gak sekolah dan gak familiar lagi dengan dunia kampus..

***
Gue jadi nggak enak hati sama orang yang berpikir kalo gue udah melakukan hal2 hebat (?), seperti (katanya) dapet scholarship. Gue juga jadi malu sendiri kalo inget gue pernah bilang sama seorang teman kalo sekarang ini gue merasa udah waktunya untuk pause sebentar dari kerja setelah enam tahun, dan memang waktunya lah buat gue sekolah lagi. Duh, pede banget ya?

Ternyata pindah dari dunia kerja ke dunia kampus itu gak gampang. Apalagi saat2 kayak sekarang ini dimana masa honeymoon udah lewat (people congratulated me for the scholarship, farewells, sending emails saying I'm fine - the city is great, etc), dan sekarang masuklah masa2 sulit, the real school day. It is exactly like moving from the center to periphery, atau kalau istilah pop nya: leaving the comfort zone.

***
The term moving from Center to Periphery also literally means moving from the heart of the earth to the end of it. Sweden is almost at the toppest of part of the globe.. This summer of 13.9 degree terrifies me from facing winter of minus 15. Tolong...