Friday, September 28

Kesialan (pertama) di Hanoi



Hampir satu bulan di Hanoi. Banyak kejadian, ada yang bikin sebel, ada yang menyenangkan. Yang bikin happy adalah kalo bisa jalan2 ke tempat baru, view nya bagus, dan orang-orang bisa berbahasa Inggris. Yang nyebelin adalah kalo diputer2 sama sopir taksi, atau kehilangan laptop dan surat-surat berharga (poor Sofia), atau kehilangan sepatu (poor dave) atau switch lampu kamar yang kebakar karena korslet (poor me!). Semua terjadi dalam sebulan.

Seketika dinding di sekitarnya jadi gosong dan kamar saya penuh asap. Kejadiannya kemarin malam (26 Sep), udah lewat midnight, dan saya mau tidur. Seperti biasa, saya matikan lampu kamar. Tiba-tiba ada percikan api keluar dari switch itu, dan tiba2 lampu di kamar pun mati. tapi percikan api itu tetap menyala sambil mengeluarkan suara, sepeti ada yang terbakar. Kejadiannya berlangsung 1-2 detik. Saya ketakutan dan manggil Sarah, yang kamarnya paling deket dengan saya. Begitu dia lihat apa yang terjadi, dia langsung teriak. Kita lari ke bawah, takut percikan api itu makin besar dan terjadi kebakaran. Saya menunggu sesuatu meledak dari sana. Saya pasrah, kalo rumah ini kebakaran, ya sudahlah... Tapi syukurlah, percikan api dan suara itu berhenti.. Meninggalkan gosong di sekitarnya, asap mengepul di kamar saya, serta bau terbakar. It was shocking, seketika takut dan.. lemes...

Baru besok sorenya saya berhasil menghubungi landlord saya. Dan sampe malam ini (sudah dua malam) lampu di kamar belum juga menyala. Ada technician yang sudah datang tadi sore tapi dia datang menjelang gelap, dan tidak banyak yang bisa dia lakukan. Besok pagi dia mau datang lagi. dan malam ini teman2 menyuruh saya untuk tidak tidur di kamar saya, karena kabel2 terbuka di switch lampu kamar. bau terbakar pun masih ada. Tapi.. kayaknya gak papa tidur di kamar, lagian, saya udah pasrah.

Ini memang kesialan pertama yang menimpa saya di Hanoi. Tapi ini sudah kesialan kesekian yang terjadi pada kami di rumah ini. Ah.. entah apalagi yang akan terjadi besok-besok? Mudah2an tidak ada lagi...

*Sigh...*

Friday, September 21

Nikmat Ramadhan

Beginilah kalau begadang. Mata ngantuk dan badan capek, tapi gak bisa tidur. Alhasil, jadilah saya langsung sahur sambil chatting dan blogging. Kenapa begadang? Jangan ditanya, pasti karena nulis tugas yang deadlinenya mepet, cuma beberapa jam saja. Selalu begitu. Hehe.

Sambil blogging dan makan sahur, saya membaca posting terbaru dari dua teman saya, Riana dan Lia. Dua-duanya menulis tentang topik yang sama: bagaimana seseorang menghadapi perbedaan agama yang dia hadapi. Bedanya, Riana meng-up load catatan ayahnya tentang bagaimana keluarga mereka menghadapi kenyataan bahwa salah satu anak mereka pindah agama demi menikah. Sementara Lia, menulis tentang kesempatan dia berbicara di depan para Senior Batak Kristen (Li, apa sih istilahnya? elo posting pake bahasa inggris sih! hehe) tentang pengalamannya menjalani pernikahan beda agama.

Hebat. Saya selalu kagum dan tertarik dengan diskusi tentang pluralisme agama. Masih belajar, belum banyak mengerti. Ada kepuasan di hati ini ketika membaca diskusi tentang pluralisme agama. Hal yang membuat saya excited karena selalu ada yang baru. Mengingat apa yang ditulis dua teman saya, dalam hati ada kekaguman pada upaya 'kampanye' pluralisme agama yang pelan-pelan tetap bergulir. Syukurlah, tetap ada saluran untuk melakukan itu. Dan tetap ada orang-orang yang mau menjalankannya. Lega campur kagum.

Saya bersyukur bisa sahur sambil membaca posting teman-teman saya tadi. Inikah nikmat Ramadhan? Aduh, amin...

Tuesday, September 18

Tahajjud

Sudah beberapa tahun saya tidak sholat tahajjud. Sudah beberapa tahun pula saya merasa ibadah saya hanya sekedar ritual. Tapi saya tetap berusaha menjalankannya. Entahlah, ada dorongan untuk itu. Saya memang bukan orang yang pandai, yang bisa menjadi bijak dengan memahami Tuhan dan hidup dari segi filosofi. Saya perlu dituntun lewat ritual.

Anyway, tentang tahajjud. Sepertinya terakhir saya melakukannya kira-kira lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saya lupa, apakah ketika ayah saya berpulang, saya melakukannya atau tidak. Sepertinya dari sholat sunnah yang saya lakukan, kebanyakan adalah istikharah atau sholat hajat. Dua sholat ini yang saya ingat, dan saya lakukan ketika sedang bimbang. Tapi tidak pernah saya ingat tentang tahajjud sedikit pun.

Seorang teman saya -di tengah curhat saya tentang kebingungan akan hidup dan jodoh ;) - menyebut shalat ini. Dia tidak menyebut shalat sunnah yang lain. Tiba-tiba saya teringat. Ada sesuatu yang memang saya lupakan. Seperti melihat uang seratus ribu di selipan dompet rasanya. Saya memilikinya, tapi saya benar-benar lupa. Hilang dari kepala dan hati.

Pagi ini saya melakukannya. Saya menemukan ketenangan. Terima kasih saya untuk Ratna *Thanks for listening :)*

Sunday, September 16

Renungan Pribadi

Kata orang, ketika kita makin kaya, makin banyak pula ketakutan. Makin banyak harta kita kumpulkan, makin kita menjaganya dengan ketat. Takut hilang. Orang tua menjaga anak gadisnya dengan ketat, takut salah bergaul dan didekati lelaki bengal. Begitu juga anak lelaki, dijaga sedemikian rupa takut terjerat narkoba. Seorang perempuan menjaga kekasihnya dengan sedemikian rupa. Takut selingkuh, takut ke lain hati. Seorang istri menjadi demikian posesif terhadap sang suami, takut gak pulang akibat kebanyakan meeting dan travelling.

Banyak sekali ketakutan manusia akan kehilangan apa yang sudah didapatkan. Saya pun demikian, saya takut kesempatan saya bepergian, belajar tentang banyak hal dan berkarya akan hilang jika saya berhenti mengejar cita-cita. Saya takut jika tidak berkiprah di dunia yang sama, bergaul dengan orang2 seprofesi, maka saya akan tertinggal. Apalagi menikah. Dengan seseorang dari luar profesi saya. Wah, rasanya proses belajar saya akan berhenti.

Kerdil sekali ya? malu rasanya mengakui ini, tapi... sudahlah. Saya memang masih perlu banyak belajar.

Saya malu sendiri ketika seorang teman menulis betapa dia merasa cukup dengan putus sekolah, bekerja di kantor yang sekarang, bermain dengan sang anak, mencuci, dan memasak. Dia merasa cukup dengan apa yang dipunya, kemewahan bersama keluarga, kenikmatan menikmati waktu senggang sambil membaca buku dan musik kesukaan. Kemewahan yang tidak akan didapat jika ia mengejar karirnya. Padahal saya tahu dia adalah seseorang yang sangat cerdas dengan segudang ilmu dan keluasan hati. Dia memutuskan meninggalkan studinya dengan alasan, tidak ada gunanya jika ia harus menyelesaikan sekolah hanya mengejar gelar Master, tapi mengorbankan pekerjaan yang sama sibuknya, dan keluarga yang membutuhkannya. Hebat sekali. Pilihan yang sangat bijak karena saya yakin, orang seperti dia memang tidak butuh dengan gelar mentereng. Sudah cerdas dari sananya. Dia jauh lebih cerdas dengan pilihannya sekarang daripada buang-buang waktu mengejar Master-nya. Betapa indah pilihannya untuk menjaga ritme hidupnya menjadi 'moderate' dan cukup dengan itu. Mencuci menjadi pekerjaan yang menyenangkan. Memasak dan bercanda dengan anak jadi bermakna baginya dan bagi anaknya. Bukan hanya sekedar sesuatu yang harus, supaya si anak tidak lebih dekat dengan sang pembantu.

Saya juga malu sendiri ketika mantan bos yang saya kagumi dengan rendah hatinya berkata, dia sedang menjaga anak-anak karena sang istri sedang melanglang buana ke Afrika untuk satu pekerjaan konsultasi. Saya tahu benar beliau adalah orang nomor satu di kantornya, tapi dia dengan santainya bilang istrinya adalah world traveller, sementara dia hanya bercokol di depan komputer. Domesticated. Saya juga ingat di tahun 2003 dia sendirian mengepak barang2 di rumahnya ketika akan pindah tugas ke negara lain. Sang istri sedang menyelesaikan studi PhD-nya di Inggris. Bukan hanya itu, di tengah tumpukan dus-dus dan pekerjaan di kantor yang menumpuk, kala itu beliau juga harus menjaga anaknya di rumah, yang sudah beberapa hari pilek dan batuk. Iya, saya menyaksikan betapa dia rela melakukan peran domestik ketika sang istri absen. Bukan, bukan karena sang istri lebih baik karirnya atau lebih banyak mendapatkan uang. Tapi karena tuntutan peran. Tepatnya kesadaran untuk memainkan peran ketika yang lainnya absen.

Sepertinya saya masih sangat konvensional dalam memandang banyak hal. Konsep 'female-headed household' yang mengedepankan peran perempuan dalam ekonomi keluarga akibat absennya laki-laki di rumah membuat saya ngelotok ttg peran perempuan yang besar dalam keluarga dan di masyarakat. Saya jadi lupa bahwa ada yang lebih penting daripada meributkan peran siapa yang lebih besar. Yang lebih penting adalah, siapapun yang bisa memegang peranan, dialah yang beraksi. Mengambil peran sebagai ibu yang berkarir dengan 'cukup' dan tetap bisa mencuci dan berbagi kemewahan untuk keluarga adalah satu strategi yang sangat menyejukkan hati. Begitu pula menjadi ibu yang melanglang buana, merelakan suami yang lebih perperan domestik bukanlah satu 'dosa' perempuan, atau kekurangan lelaki. Saya tidak tega melecehkan pria rumahan seperti ex bos saya itu, karena saya tahu kualitas profesional dan pribadinya. Lagian, sekarang ini suami yang mau berperan domestik justru banyak diidamkan perempuan, bukan?.

Lalu, apa? Tidak ada. Ini hanya renungan pribadi. Belajar dari orang-orang yang saya kenal. Ilustrasi dua cerita di atas sama-sama memberikan kemewahan yang luar biasa bagi saya. Dan membuat saya kagum pada mereka, yang tanpa ragu memilih perannya, merasa cukup dengan keadaan mereka. Saya kagum dengan teman saya, yang mampu merasa cukup dengan karirnya sekarang, dengan kemewahan yang ia ciptakan untuk keluarganya. Saya juga kagum dengan mantan bos saya, dengan kerelaannya melakukan tugas-tugas domestik tanpa mengurangi perannya sebagai orang nomer satu di kantor. Dia bahkan menyempatkan waktu ngobrol dengan saya via skype, di tengah waktunya menyiapkan meeting. Begitu mewah waktu yang ia punya akibat being domesticated, bisa melakukan hal-hal kecil yang nikmat, seperti sekedar ngobrol dengan bekas anak buahnya lewat internet. Berbagi cerita dan bertukar foto. Saya pun merasa dihargai olehnya.

*Terima kasih ya, Pak. There's always something I can learn from you*

Lagi-lagi, ini adalah renungan pribadi.

Saturday, September 15

Homesick... and other mixed feelings

Hari ini sudah hari ke 3 ramadhan. Weekend ke-2 setelah 2 minggu di Hanoi. Hari ini lagi-lagi adalah satu kemewahan setelah (berusaha) kerja dan membaca bahan penelitian selama seminggu. Rasanya mau memijit tombol stop di jam saya. Menghentikan waktu. Biarlah weekend terus. Sabtu terus.

Hari ini, puasa sendirian lagi. Seperti tahun lalu. Hari ini, saya dengar lagi Michael Buble bersuara. Home. Ya, lagu itu selalu memberikan sensasi yang sangat pas buat saya, khususnya ketika jauh dari orang-orang tercinta. Tiga bulan lalu di Lund, di tengah tugas dan bacaan, rasa rindu kampung halaman begitu memuncak. Gak ada yang bisa mengalahkan rasa ingin pulang dan bertemu orang-orang tercinta, walaupun waktu itu saya tahu, betapa diri ini sedang beruntung bisa berada di tempat yang jauh - tempat yang selalu saya impikan, melakukan hal yang selalu saya idamkan.

Hari ini, Michael Buble lagi-lagi membangkitkan sensasi yang sama. Lagi-lagi saya ingin pulang, walaupun saya tahu diri ini sekali lagi beruntung. Di tengah galau dan kegamangan tentang masa depan kehidupan pribadi, rasanya saya ingin pulang dan berlabuh. Entah emosi atau alam bawah sadar saya berbicara, rasanya ada ruang yang tersedia untuk kasih sayangnya. I want to dedicate it to him.

".... Another aeroplane
Another sunny place
I’m lucky I know
But I wanna go home...
I’ve got to go home

Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
'Cause this was not your dream
But you always believed in me...."

Entahlah...

Mudah-mudahan saya cukup sabar menghadapi keadaan. Menghadapi perasaan ingin pulang. Melawan perasaan galau dan kekhawatiran. Menunggu satu kepastian dari diri sendiri. Seperti saya berusaha bersabar menunggu maghrib di tepi Hoan Kiem Lake, Hanoi.


Mudah-mudahan.

****

Silly but true, this is my daily horoscope from facebook:
"You're having trouble putting your feelings into words. Write things down, but don't get frustated if it comes out wrong. It'll come to you eventualy" (http://lu.facebook.com/profile.php?id=297000111)

Yah, hopefully things will fall into places eventually. And I will still be there. Hopefully.

Friday, September 14

Horoscope of the Day

An invitation will come your way from completely out of the blue today, and it will probably throw you for quite a loop. Figuring out whether or not to accept it shouldn't take a long time to do, but it will. You're feeling very indecisive about everything right now, even with a no-brainer like this. Time is dwindling away, and every moment you take deliberating is a moment you'll never get back. So act fast and go with you gut -- you won't regret whatever happens.

Sunday, September 9

Nasi sudah menjadi Pho

Ternyata pindah ke tempat baru memang tidak gampang. Terbiasa di Jakarta, terus ke Sweden yang damai sejahtera, lanjut di Hanoi yang cukup challenging, ternyata bikin capek juga. Adaptasi lagi dengan kondisi baru bukanlah hal yang gampang.

Keputusan untuk melakukan penelitian di Hanoi adalah karena ketertarikan pribadi saya terhadap isu perdagangan manusia. Region di sekitar sungai Mekong cukup menantang, saya pikir. Indonesia memang lahan yang subur untuk menyelami isu perdagangan perempuan, tapi saya pikir belajar dari pengalaman region lain akan memperkaya pengetahuan tentang isu ini.

Semakin lama dipelajari isu ini ternyata cukup mengerikan. Kemiskinan pastilah inti dari masalah. Tapi ada masalah lain yang juga mungkin sulit untuk dihadapi ketika penelitian seperti masalah penguasaan atas konteks, bahasa, perbedaan kultur, dan transparansi informasi tentang perdagangan perempuan di Vietnam. Ternyata untuk meneliti isu ini kita harus minta ijin dulu dari otoritas lokal. Jangankan mahasiswa seperti saya, organisasi intenasional yang mau melaksanakan satu proyek anti-trafficking di tingkat provinsi pun belum tentu diberi ijin untuk berprogram oleh pemerintah lokal.

Bingung juga, apalagi ini adalah minggu awal penelitian lapangan, di mana semua ide, informasi, data dan pengetahuan ttg isu dan konteks perdagangan perempuan masih sangat minim. Ditambah dengan masalah kultur, kadang saya pikir melakukan penelitian di Indonesia akan jauh lebih mudah dijalankan daripada di Vietnam. Kenapa tidak meneliti untuk negara sendiri? Akan lebih valuable jika saya melakukan penelitian di Indonesia, karena saya MUNGKIN bisa berkontribusi sedikit untuk kampung halaman. Lagipula, kalau ada kesulitan data atau informasi, tinggal tanya ke teman-teman yang menguasai isu ini. Apalagi ada beberapa teman yang jelas-jelas akrab dengan isu perdagangan perempuan.
Penyesalankah? Bukan. Just wondering...

Anyways, nasi sudah menjadi pho (noodle soup a la vietnam). I have made a decision. Keputusan ini bukanlah keputusan yang salah. Pasti ada pelajaran yang bisa saya petik untuk usaha anti perdagangan manusia di kampung halaman. Pasti ada benang merah yang bisa menjadi pijakan untuk membebaskan kaum miskin dan rentan dari jebakan perdagangan manusia. Di Indonesia atau di Viet Nam, akhirnya akan sama saja. Karena kaum miskin yang membutuhkan kebebasan ada di mana-mana.

Wish me luck.

Saturday, September 1

A little bit of Something from Hanoi






Udah nyampe di Hanoi, Vietnam. Hari ke-3 sampe di sini, dan baru aja move in ke rumah yang kita sewa. Sebelumnya gue stay di Hanoi Backpackers Hostel, karena emang belom dapet rumah. Gara-gara belom dapet rumah ini juga, gue jadi sutress dan gak semangat berangkat. Belom lagi berbagai paranoia yang gue pikirkan dengan terlalu.

Sekarang ini gue lagi di warnet bareng temen-temen serumah. Semuanya temen kampus yang sama2 fieldwork di Hanoi. Ada temen sekelompok gue, Sarah dari US. Ada Raph (Aussie), Sofia (Greece), sama Dave (Iceland). Tapi Dave sekarang lagi cukur rambut sekalian beli furniture (lah? gak nyambung?!). Warnetnya ada di deket rumah, kita jalan beberapa meter aja, dan di dalamnya ada banyak anak2 muda pada main game. Persis kayak warnet di Jakarta sih, tepatnya warnet yang di perumahan sederhana. Gak ada AC, cuma ada kipas angin. Hihihi. Mereka pada heran ada 3 bule dan satu perempuan Aisa yang sok bule (karena pake bahasa Inggris juga). Waktu penjaganya tanya gue bilang dari Indonesia, dia keliatan kecewa. Hahaha..

Rumah kita bagus, ada 4 lantai. Rumahnya tinggi tapi sempit, gak lebar ke samping. Persis kayak ruko-ruko gitu deh. Tapi ini rumahnya masih gres, jadi kita yang merawanin. Harganya juga friendly buat mahasiswa yang uangnya pas-pasan kayak kita gini. Gaya rumahnya minimalis, jadi cocoklah dengan selera kita. Lantai pertama (lantai dasar) dapur dan ruang tamu. lantai 2 kamarnya Sofia (plus kamar mandi di dalem) dan common room. Lantai 3 kamar gue dan Sarah, plus satu kamar mandi sharing. Lantai 4 kamarnya dave dan Raph, plus ruangan cuci berikut mesinnya. Di lantai dasar juga ada kamar mandi tamu. Diluarnya ada garasi. Asik banget. Di rumah juga belom ada furniture. Cuma peralatan masak standar plus matras darurat yang sebelumnya dipake sama yang jaga rumah. AC juga gak ada, cuma ada di kamar Sofia, tapi kayaknya belom nyala. Tapi kita disedian fan 6 biji buat masing masing ruangan. Lumayan.. hehehe

Gue barusan ngepel kamar. Kuotooorrr banget. Kamarnya lumayan gede. Beloma da apa-apa cuma satu kipas angin plus lampu baca, dan satu lemari yang nempel di dinding. Tapi kamarnya gede dan bisa menampung cukup keluarga, teman2 atau 'significant others' yang berkunjung. Hehehe..Abis beberes dan unpack, gue ngantuk berat, lagian semalem gue juga gak bisa tidur (sisa stress masih ada, hehe),terpaksalah gue tidur beralaskan guling yang gue bawa dari Jakarta (yes, I did bring a brand new guling with me...).

Sekarang tentang Hanoi. Ternyata cuaca di sini gerah banget... Mungkin kayak Jakarta yang lengket dan bikin keringet. Tapi koq gue merasa lebih lengket di sini ya? Kata Dave yang sempet ngecek di internet, temperatur Hanoi sekita 33 celcius, but feels like 37. hahaha. Pantesan...

Kota Hanoi juga ternyata jadul. Hihihi. Sorry ya buat yang seneng sama kota ini. Gue yang selalu mendengar cerita tentang pertumbuhan ekonomi Vietnam yang pesat, selalu membayangkan Vietnam (baca Hanoi) sebagai kota yang metropolitan. Nggak usah kayak Jakarta, at least kayak Jogja lah. Tapi ternayta nggak loh. Mungkin lebih deket kayak Phnom Penh, Cambodia. Atau kalau di Indonesia.. mungkin kayak Sukabumi atau Cirebon yah? Sepanjang ini gue belom nemu mall yang hip kayak Taman Anggrek, PIM, atau at least kayak Blok M Plaza. Paling top yang gue temuin adalah satu tempat perbelanjaan yang mirip tanah abang tapi jauh lebih kecil. Mungkin gue belom banyak explore lagi. Tai ada juga hotel-hotel berbintang kayak Sofitel, Somerset, Hanoi Daewoo, Sheraton, dan sederetan kedutaan yang bangunannya lumayan modern dan besar. Di daerah kedutaan, rasanya mirip-mirip daerah Hang Lekir atau Teuku Umar di Jakarta.

Kendaraan umum di jalan yang paling banyak adalah motor dan taksi. Bis gak terlalu banyak di sini walaupun ada. Ojek kayaknya populer di sini karena sejak pertama nyampe, sang driver yang jemput gue di bandara menyarankan untuk nyewa motor kalo gue stay di Hanoi selama 4 bulan. Gue langsung menolak mentah-mentah. tau sendiri kan dengan kemampuan gue naik sepeda di Lund? Apalagi naik motor... Selain itu, di sini lalu lintas ajaib banget. Kayaknya motor dan mobil pada gak punya rem dan gak mau saling ngalah. Apalagi motor yang liar begitu. Gue yang terbiasa dengan motor atau ojek yang merajai Jakarta aja masih serem. Masalahnya mereka kenceng2 buanget, sementara di Jakarta motor2 itu pada pelan, karena macet.. Hehehe..

Apalagi ya? Makanan? gak masalah sih buat gue. Di sini banyak banget makanan pinggir jalan yang jual nasi rames atau pho (noodle soup). Makanan pinggir jalan atau bir (Hoa Bia nama local bir nya) tempatnya lucu2. Tempat makannya terdiri dari kursi kecil yang mirip jongkok buat nyuci, plus meja kecil yang sama pendeknya. Kayanya sih ini gaya makan pinggir jalan Vietnam yang informal. Buat gue, itu beda tipis sama lesehan atau tukang bakso pinggir jalan yang pake kursi plastik kalo kita makan. Hehehe.

Ini gue attach beberapa foto kita di rumah. Gak banyak fotonya Tapi lumayan.
For my loved ones, makasih ya buat supportnya waktu sebelum berangkat. I am doing fine here. Come!