Jangan sembarangan ngomong...
Kesel banget ya kalau tau ada orang lain ngomongin kita di belakang. Yang paling sebel lagi kalau dia menilai kita yang aneh2, yang cuma sebatas pemahaman dangkal mereka aja. Ujug2 tiba2 katakanlah si X bilang ke Y yang lagi frustasi "jangan sembarangan ngomong, lihat tuh si Anu, apa akibatnya sekarang"...
Wiii, coba kalau kita ganti "Anu" dengan nama kita sendiri. Most likely kita langsung bilang "maksudnya apa sih?", atau "tau apa sih dia tentang gue?", atau ungkapan protes lainnya.
Dalam keadaan emosi begini biasanya banyak orang bilang
"sabar, dia gak maksud bilang gitu kok...", atau
"udahlah, jangan dimasukin hati.." atau kata2 lain yang maksudnya menenangkan.
Tapi buat hati dan kepala yang lagi mendidih rasanya kita mau teriak dan bilang "kenapa juga kita yang dihakimi, yang diperlakukan tidak adil, tapi masih harus dituntut untuk mengerti orang lain??"
Masih tersisa rasanya gondok di dada, tapi memang gak bisa dipungkiri kita suka sekali menilai orang dengan lugu (maklum, gak ketemu kata lain..), tanpa pemikiran panjang, tanpa berusaha meletakkan kaki kita di sepatunya (put ourselves in her shoes, red.)
Kenapa kalau dalam keadaan seperti di atas yang selalu dituntut mengalah dan berbesar hati adalah korban (si Anu), sementara sang penggagas kata (X) tetap tidak sadar dan terus menyampaikan isi kepalanya yang sama ke orang2 lain, dan orang lain melanjutkan ke orang lain, terus.. terus.. terus.. begitu.. Kapan mereka akan menyadari kesalahannya?
* Apakah ada orang yang berusaha bilang ke X bahwa penilaiannya terburu2? *
*****
Hhmmmm... begitulah kita, sering kali terjebak pada sempitnya pemikiran oops... salah, maksudnya pada pemikiran yang sempit, dan isi kepala yang berbatas... Dan seringnya lagi, itu malah memperkecil pandangan kita atas banyak hal..
Hhmmmm...
I am 39% evil.
I could go either way. I have sinned quite a bit but I still have a bit of room for error. My life is a tug of war between good and evil.
Are you evil? find out at Hilowitz.com
Wiii, coba kalau kita ganti "Anu" dengan nama kita sendiri. Most likely kita langsung bilang "maksudnya apa sih?", atau "tau apa sih dia tentang gue?", atau ungkapan protes lainnya.
Dalam keadaan emosi begini biasanya banyak orang bilang
"sabar, dia gak maksud bilang gitu kok...", atau
"udahlah, jangan dimasukin hati.." atau kata2 lain yang maksudnya menenangkan.
Tapi buat hati dan kepala yang lagi mendidih rasanya kita mau teriak dan bilang "kenapa juga kita yang dihakimi, yang diperlakukan tidak adil, tapi masih harus dituntut untuk mengerti orang lain??"
Masih tersisa rasanya gondok di dada, tapi memang gak bisa dipungkiri kita suka sekali menilai orang dengan lugu (maklum, gak ketemu kata lain..), tanpa pemikiran panjang, tanpa berusaha meletakkan kaki kita di sepatunya (put ourselves in her shoes, red.)
Kenapa kalau dalam keadaan seperti di atas yang selalu dituntut mengalah dan berbesar hati adalah korban (si Anu), sementara sang penggagas kata (X) tetap tidak sadar dan terus menyampaikan isi kepalanya yang sama ke orang2 lain, dan orang lain melanjutkan ke orang lain, terus.. terus.. terus.. begitu.. Kapan mereka akan menyadari kesalahannya?
* Apakah ada orang yang berusaha bilang ke X bahwa penilaiannya terburu2? *
*****
Hhmmmm... begitulah kita, sering kali terjebak pada sempitnya pemikiran oops... salah, maksudnya pada pemikiran yang sempit, dan isi kepala yang berbatas... Dan seringnya lagi, itu malah memperkecil pandangan kita atas banyak hal..
Hhmmmm...
I could go either way. I have sinned quite a bit but I still have a bit of room for error. My life is a tug of war between good and evil.
Are you evil? find out at Hilowitz.com
<< Home