Tuesday, November 21

Something to Ponder: Kajian Barat tentang Islam v. Kajian Islam tentang Kristen

Menarik sekali tulisan yang barusan gue baca di website Islam Liberal. Tulisan Ulil Abshar-Abdalla tentang concern-nya atas minimnya tulisan Islam yang simpatik terhadap ajaran kristiani. Sebenarnya Ulil menulis untuk mengenang Prof. Watt yang baru meninggal dan menulis sedikit tentang pendekatan kajian Prof. Montgomery Watt, seorang antropolog yang mengkaji Islam secara bersahabat. Ulil menulis dia menggemari karya2 Prof. Watt yang sempat bertutur di dalam bukunya What is Islam : "jika Islam berarti ketundukan kepada suatu kebenaran ultim, kepada Tuhan sebagai sumber kebenaran itu, maka anda boleh menyebut saya sebagai Muslim (tentu dalam esensi)" . Kurang lebih begitu intinya, walaupun Ulil juga nggak inget kalimat persisnya.

Islam Liberal memang menarik. Gue merasa punya ketertarikan tersendiri dengan isu2 yang dibawa Islam Liberal. I am not saying that I am a true Islam believer, gak sama sekali. Tapi karena tertantang aja dengan kompleksitas agama: antara urusan pribadi dan budaya, terutama kalau sudah terkait dengan interpretasi manusia yang beragam tentang ajaran Islam. Belum lagi kalau itu dikaitkan dengan dialog antaragama, semua jadi tambah kompleks dan sensitif. Tantangan terbesarnya adalah untuk menjadi wise dalam diskursus itu sekaligus juga tetap kritis terhadap agama orang lain maupun agama kita sendiri. Alasan kedua kenapa tertarik dengan Islam liberal adalah karena ada keterikatan emosional, gara-gara kerja di TAF, gue jadi merasa 'sok dekat' dengan Islib, dan dengan isu2 pluralisme agama. Mukanya Mbak Robin, Mas John, Pak Edy dan Mbak Lies terbayang2 di kepala gue waktu gue menulis ini.. Hehe

Oke, kembali ke tulisan Ulil. Di artikel ini Ulil juga mengungkapkan banyaknya kajian Islam yang berkembang di Barat. Walaupun awalnya kajian di sana lebih berbau polemik melawan Islam, tapi kemudian berkembang sampai sekarang menjadi usaha di Barat untuk membangun saling pengertian atas kebudayaan manusia yang beragam. Banyak juga tulisan populer tentang Islam seperti karya Karen Armstrong yang menurut Ulil mengkaji Islam dengan simpatik. Sayangnya, kajian yang simpatik tentang Islam ini tidak dibarengi dengan kajian yang juga simpatik tentang Kristen. Ulil merasa prihatin untuk ini, dan gue sepakat dengan beliau. Sangat sedikit tulisan yang berkembang tentang kristen, dan kalaupun ada, penulis kita jarang ada yang simpatik. Kalau boleh mengutip Ulil (artikel lengkap di: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1161) :

"Saya sungguh sedih melihat kontras antara dua hal ini: Sementara Barat maju dengan pesat lewat kajian tentang Islam dengan semangat yang kian simpatik, di dunia Islam sendiri nyaris tak ada perkembangan apapun berkaitan dengan usaha umat Islam untuk secara akademik mengkaji kebudayaan dan agama Kristen dengan semangat serupa.
Pada level yang sedikit populer, kontras ini kian menyedihkan. Sementara di pihak Barat lahir "penulis populer" seperti Karen Armstrong yang menulis beberapa buku yang simpatik tentang Islam dan sejarah Nabi Muhammad, di pihak Islam sendiri kita tak menemuka upaya serupa. Sementara banyak umat Islam yang riang-gembira karena melihat ada seorang mantan biarawati (yakni Armstrong) menulis dengan simpatik tentang Islam, mereka sendiri lupa bahwa dari kalangan Islam tak ada upaya yang setimpal terhadap Kristen. Saya sedih karena karya tentang Kristen dari pihak Islam yang populer di level akar rumput adalah buku-buku "polemik murahan" tulisan Ahmad Deedat dan buku-buku sejenis lainnya"

Gue setuju dengan Ulil. Kayaknya jarang ada tulisan populer dari tokoh Islam yang menulis kajian tentang Kristen. Apa kita terlalu sibuk dengan diri sendiri? Sibuk mengklarifikasi bahwa Islam bukanlah agama terorisme? Bisakah Islam mengulurkan tangan dan bersahabat dalam menjelaskan itu? Atau malah terlalu nyaman menjadi agama yang terakhir sampai lupa mengkaji agama sebelum Islam? I do not know. I am not a scholar on Islam at all. Ketertarikan tentang Islib dan interfaith dialogue juga masih di permukaan. Still lots of things to learn.. Belum selesai berkontemplasi dengan tulisan Ulil, beberapa lama kemudian gue menemukan artikel tulisan Pendeta Martin Sinaga tentang Lebaran, masih di halaman portal yang sama, di webpage Islam Liberal. Isinya kurang lebih tentang momen teologis, momen kultural, dan momen dialogis dari Lebaran. Pendeta Martin juga adalah salah satu tokoh dialog antar agama dari kalangan Kristen, dan thanks to Stella, gue jadi tahu nama beliau dan tertarik sama tulisan2nya di majalah. Lagi2 tulisan Pendeta Martin menunjukkan kajian yang simpatik tentang Islam, yang ditulis oleh seorang non Muslim. Berikut sedikit cuplikan tulisannya tentang lebaran, dan juga sedikit papaannya tentang perbedaan antropologi Islam dan Kristen paling tidak dalam hal pengertian masing2 agama tentang Adam. Sangat simpatik dan bijak. ( Untuk artikel lengkap lihat http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1157 ):

"Jelas bahwa Lebaran adalah suatu momen teologis, artinya Lebaran adalah sebentuk peristiwa iman, peristiwa yang dipercaya dan dinyatakan terkait dengan Sang Ilahi. Dalam pada itu umum kita dengar bahwa saat Lebaran yang dirayakan ialah ketibaan pada fitrah manusia itu sendiri. Sebab sejak Adam telah ditetapkan perjanjian asali, dimana Adam adalah seorang mukmin yang benar di hadapan Tuhan. Ke arah Adam yang asali itulah manusia hendak kembali. Di sini, bisa ditambahkan, “antropologi” Islam beda dengan antropologi Kristen yang memulai dengan Adam yang tercemar (St. Sunardi, 1996).

Sehingga menoleh ke yang asali menjadi tema Lebaran; sambil menyadari bahwa ternyata manusia mudah tergoda dan menyimpang. Di sinilah iman diuji, khususnya dalam puasa. Dan kalau taqwa lebih kuat, maka ia akan memenangkan ujian, dan selanjutnya merayakan fitrah dirinya yang sesungguhnya, dalam pesta Kemenangan (Idul Fitri).

Jadi memang Islam sulit memahami tema inkarnasi Kristus, sebab sebagaimana disinggung di atas, antropologi dalam Islam tidak bermula dari manusia yang tercemar atau yang jatuh, the Fall. Dalam Kristen: struktur pengalaman antropologisnya ialah kejatuhan, “negatifitas”, yang diberi nama “dosa asal Adam”. Sehingga untuk mengatasi itu semua, perlu Adam yang Baru, yang dipercaya nyata dalam inkarnasi dan diri Kristus.

Perbedaan teologis ini, menurut saya, sebenarnya bertolak dari soal dan pergulatan yang sama: bagaimana di tengah kenyataan hidup yang kompleks yang mendera manusia, masih mungkin diraih keutuhan diri. Yang satu melihatnya dalam ikhtiar kembali ke yang asali (fitrah), yang satunya lagi berharap dengan melangkah sebagai ciptaan yang baru (Kristus selaku Adam yang baru).

Dengan demikian, momen (teologis) Lebaran adalah momen yang sarat makna eksistensial khususnya bagi kaum Muslim, namun, gemanya ternyata sampai pada pergulatan jiwa kaum Kristen. Lebaran ternyata untuk semua"