Sunday, September 9

Nasi sudah menjadi Pho

Ternyata pindah ke tempat baru memang tidak gampang. Terbiasa di Jakarta, terus ke Sweden yang damai sejahtera, lanjut di Hanoi yang cukup challenging, ternyata bikin capek juga. Adaptasi lagi dengan kondisi baru bukanlah hal yang gampang.

Keputusan untuk melakukan penelitian di Hanoi adalah karena ketertarikan pribadi saya terhadap isu perdagangan manusia. Region di sekitar sungai Mekong cukup menantang, saya pikir. Indonesia memang lahan yang subur untuk menyelami isu perdagangan perempuan, tapi saya pikir belajar dari pengalaman region lain akan memperkaya pengetahuan tentang isu ini.

Semakin lama dipelajari isu ini ternyata cukup mengerikan. Kemiskinan pastilah inti dari masalah. Tapi ada masalah lain yang juga mungkin sulit untuk dihadapi ketika penelitian seperti masalah penguasaan atas konteks, bahasa, perbedaan kultur, dan transparansi informasi tentang perdagangan perempuan di Vietnam. Ternyata untuk meneliti isu ini kita harus minta ijin dulu dari otoritas lokal. Jangankan mahasiswa seperti saya, organisasi intenasional yang mau melaksanakan satu proyek anti-trafficking di tingkat provinsi pun belum tentu diberi ijin untuk berprogram oleh pemerintah lokal.

Bingung juga, apalagi ini adalah minggu awal penelitian lapangan, di mana semua ide, informasi, data dan pengetahuan ttg isu dan konteks perdagangan perempuan masih sangat minim. Ditambah dengan masalah kultur, kadang saya pikir melakukan penelitian di Indonesia akan jauh lebih mudah dijalankan daripada di Vietnam. Kenapa tidak meneliti untuk negara sendiri? Akan lebih valuable jika saya melakukan penelitian di Indonesia, karena saya MUNGKIN bisa berkontribusi sedikit untuk kampung halaman. Lagipula, kalau ada kesulitan data atau informasi, tinggal tanya ke teman-teman yang menguasai isu ini. Apalagi ada beberapa teman yang jelas-jelas akrab dengan isu perdagangan perempuan.
Penyesalankah? Bukan. Just wondering...

Anyways, nasi sudah menjadi pho (noodle soup a la vietnam). I have made a decision. Keputusan ini bukanlah keputusan yang salah. Pasti ada pelajaran yang bisa saya petik untuk usaha anti perdagangan manusia di kampung halaman. Pasti ada benang merah yang bisa menjadi pijakan untuk membebaskan kaum miskin dan rentan dari jebakan perdagangan manusia. Di Indonesia atau di Viet Nam, akhirnya akan sama saja. Karena kaum miskin yang membutuhkan kebebasan ada di mana-mana.

Wish me luck.