Sunday, September 16

Renungan Pribadi

Kata orang, ketika kita makin kaya, makin banyak pula ketakutan. Makin banyak harta kita kumpulkan, makin kita menjaganya dengan ketat. Takut hilang. Orang tua menjaga anak gadisnya dengan ketat, takut salah bergaul dan didekati lelaki bengal. Begitu juga anak lelaki, dijaga sedemikian rupa takut terjerat narkoba. Seorang perempuan menjaga kekasihnya dengan sedemikian rupa. Takut selingkuh, takut ke lain hati. Seorang istri menjadi demikian posesif terhadap sang suami, takut gak pulang akibat kebanyakan meeting dan travelling.

Banyak sekali ketakutan manusia akan kehilangan apa yang sudah didapatkan. Saya pun demikian, saya takut kesempatan saya bepergian, belajar tentang banyak hal dan berkarya akan hilang jika saya berhenti mengejar cita-cita. Saya takut jika tidak berkiprah di dunia yang sama, bergaul dengan orang2 seprofesi, maka saya akan tertinggal. Apalagi menikah. Dengan seseorang dari luar profesi saya. Wah, rasanya proses belajar saya akan berhenti.

Kerdil sekali ya? malu rasanya mengakui ini, tapi... sudahlah. Saya memang masih perlu banyak belajar.

Saya malu sendiri ketika seorang teman menulis betapa dia merasa cukup dengan putus sekolah, bekerja di kantor yang sekarang, bermain dengan sang anak, mencuci, dan memasak. Dia merasa cukup dengan apa yang dipunya, kemewahan bersama keluarga, kenikmatan menikmati waktu senggang sambil membaca buku dan musik kesukaan. Kemewahan yang tidak akan didapat jika ia mengejar karirnya. Padahal saya tahu dia adalah seseorang yang sangat cerdas dengan segudang ilmu dan keluasan hati. Dia memutuskan meninggalkan studinya dengan alasan, tidak ada gunanya jika ia harus menyelesaikan sekolah hanya mengejar gelar Master, tapi mengorbankan pekerjaan yang sama sibuknya, dan keluarga yang membutuhkannya. Hebat sekali. Pilihan yang sangat bijak karena saya yakin, orang seperti dia memang tidak butuh dengan gelar mentereng. Sudah cerdas dari sananya. Dia jauh lebih cerdas dengan pilihannya sekarang daripada buang-buang waktu mengejar Master-nya. Betapa indah pilihannya untuk menjaga ritme hidupnya menjadi 'moderate' dan cukup dengan itu. Mencuci menjadi pekerjaan yang menyenangkan. Memasak dan bercanda dengan anak jadi bermakna baginya dan bagi anaknya. Bukan hanya sekedar sesuatu yang harus, supaya si anak tidak lebih dekat dengan sang pembantu.

Saya juga malu sendiri ketika mantan bos yang saya kagumi dengan rendah hatinya berkata, dia sedang menjaga anak-anak karena sang istri sedang melanglang buana ke Afrika untuk satu pekerjaan konsultasi. Saya tahu benar beliau adalah orang nomor satu di kantornya, tapi dia dengan santainya bilang istrinya adalah world traveller, sementara dia hanya bercokol di depan komputer. Domesticated. Saya juga ingat di tahun 2003 dia sendirian mengepak barang2 di rumahnya ketika akan pindah tugas ke negara lain. Sang istri sedang menyelesaikan studi PhD-nya di Inggris. Bukan hanya itu, di tengah tumpukan dus-dus dan pekerjaan di kantor yang menumpuk, kala itu beliau juga harus menjaga anaknya di rumah, yang sudah beberapa hari pilek dan batuk. Iya, saya menyaksikan betapa dia rela melakukan peran domestik ketika sang istri absen. Bukan, bukan karena sang istri lebih baik karirnya atau lebih banyak mendapatkan uang. Tapi karena tuntutan peran. Tepatnya kesadaran untuk memainkan peran ketika yang lainnya absen.

Sepertinya saya masih sangat konvensional dalam memandang banyak hal. Konsep 'female-headed household' yang mengedepankan peran perempuan dalam ekonomi keluarga akibat absennya laki-laki di rumah membuat saya ngelotok ttg peran perempuan yang besar dalam keluarga dan di masyarakat. Saya jadi lupa bahwa ada yang lebih penting daripada meributkan peran siapa yang lebih besar. Yang lebih penting adalah, siapapun yang bisa memegang peranan, dialah yang beraksi. Mengambil peran sebagai ibu yang berkarir dengan 'cukup' dan tetap bisa mencuci dan berbagi kemewahan untuk keluarga adalah satu strategi yang sangat menyejukkan hati. Begitu pula menjadi ibu yang melanglang buana, merelakan suami yang lebih perperan domestik bukanlah satu 'dosa' perempuan, atau kekurangan lelaki. Saya tidak tega melecehkan pria rumahan seperti ex bos saya itu, karena saya tahu kualitas profesional dan pribadinya. Lagian, sekarang ini suami yang mau berperan domestik justru banyak diidamkan perempuan, bukan?.

Lalu, apa? Tidak ada. Ini hanya renungan pribadi. Belajar dari orang-orang yang saya kenal. Ilustrasi dua cerita di atas sama-sama memberikan kemewahan yang luar biasa bagi saya. Dan membuat saya kagum pada mereka, yang tanpa ragu memilih perannya, merasa cukup dengan keadaan mereka. Saya kagum dengan teman saya, yang mampu merasa cukup dengan karirnya sekarang, dengan kemewahan yang ia ciptakan untuk keluarganya. Saya juga kagum dengan mantan bos saya, dengan kerelaannya melakukan tugas-tugas domestik tanpa mengurangi perannya sebagai orang nomer satu di kantor. Dia bahkan menyempatkan waktu ngobrol dengan saya via skype, di tengah waktunya menyiapkan meeting. Begitu mewah waktu yang ia punya akibat being domesticated, bisa melakukan hal-hal kecil yang nikmat, seperti sekedar ngobrol dengan bekas anak buahnya lewat internet. Berbagi cerita dan bertukar foto. Saya pun merasa dihargai olehnya.

*Terima kasih ya, Pak. There's always something I can learn from you*

Lagi-lagi, ini adalah renungan pribadi.