Saturday, March 1

Dompet

Saya hampir kehilangan dompet lagi. dasar ceroboh... ceroboh.. dan pikun.. Minggu lalu saya belanja kebutuhan dapur dengan teman sekoridor saya, Annika. Kami pergi ke Citi Gross, supermarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Selesai belanja saya sibuk memasukkan barang-barang ke dalam ransel saya, dan tidak sadar kalau dompet saya belum saya masukkan ke dalam ransel. Santai saja kami berjalan pulang sambil menyumpahi cuaca dingin Lund.

Malamnya di rumah ketika saya sedang beberes mempersiapkan barang yang harus saya bawa ke kampus, saya baru ingat kalau dompet itu tidak ada. Saya tanya ke Annika apa dia melihat saya memasukkan dompet ke dalam tas, jawabannya tentu saja tidak. Huh, pasti ketinggalan di Citi Gross. Kami sepakat untuk balik lagi ke sana dan bertanya pada sang kasir. Mudah-mudahan ia menyimpannya karena saya adalah orang terakhir yang ada di kasir itu sebelum mereka tutup.

Paginya saya balik ke sana, dengan perasaan setengah yakin dan setengah tidak kalau dompet saya akan disimpan. Mungkin akan disimpan sama manager tokonya, atau mungkin juga ada orang iseng dari kasir sebelah yang mencurinya. Kalau hilang, saya akan sibuk menutup rekening bank di Jakarta (dan ini akan repot sekali karena harus menelpon dari sini), dan membukanya kembali ketika saya pulang. Plus, saya juga harus membuat laporan polisi. Untung paspor saya tidak ikutan ketinggalan. Kalau iya, bisa terulang lah kerepotan waktu di Belanda tahun lalu.. Kalau urusan bank di Swedia sih, untungnya gampang, saya tinggal telepon bank dan mereka tinggal blokir saja kartu saya yang hilang, kemudian membuatnya dengan yang baru. Kartu barunya pun langsung dikirim ke rumah, saya tidak perlu menjemput dan menunjukkan surat keterangan polisi. They are so trusting here!

Akhirnya saya sampai di Citi Gross dan melapor ke customer service, dan begini percakapannya:

Saya: Hej, saya ketinggalan dompet tadi malam di Kassa 5
Customer Service: Oh, siapanya?
Saya: Nama saya?
Customer Service: iya
Saya: Gita
Customer: Oh iya, kita punya dompet kamu
Saya: Wah, terima kasih banyak!

Lega sekali rasanya. Si mbak customer service pun menelepon salah satu temannya dan bilang bahwa saya, yang punya dompet ada di bawah. Saya disuruh tunggu karena sebentar lagi dompet saya akan diantar.

Benar saja, setelaj 5 menit menunggu, akhirnya ada petugas Citi Gross yang datang dan menyerahkan dompet saya. Dia cuma bilang "Here it is" dan kembali lagi ke dalam. Tidak ada formulir yang harus saya isi. Tidak ada tanda bukti yang harus saya tunjukkan bahwa saya memang si empunya dompet. Semua berjalan seperti biasa, sepertinya mengembalikan barang yang bukan miliknya adalah satu hal yang biasa, seperti kita membayar satu botol Coca Cola di Seven Eleven. Wah, lagi-lagi saya pikir, they are so trusting! (Atau mungkin nggak ada yang bisa diambil dari dompet saya? hehehe)

Senangnya menemukan kembali dompet saya. Dompet ini sudah dua kali hampir hilang. Yang pertama di Hanoi, di salah satu restoran tempat farewell dinner saya dengan teman IOM, di malam terakhir sebelum saya pulang dan meninggalkan Vietnam. Untungnya sang manajer restoran menyimpannya, dan saya kembali ke restoran itu sebelum mereka tutup. Akhirnya saya pun bisa pulang ke Indonesia dengan selamat tanpa kehilangan apapun. Lagi-lagi, saya memang ceroboh.

Ya, saya memang ceroboh dan tidak menghargai betapa bernilainya dompet kusam saya itu. Sebenarnya, saya tahu betapa berartinya si dompet itu, mengingat berbagai kartu ATM dan ID yang memang saya butuhkan untuk bisa tinggal di sini dan bertransaksi belanja. Semua memang bisa diurus gantinya kalau hilang, tapi itu makan waktu dan tenaga. Annoying juga sih. Beruntung ada orang-orang jujur dan trusting yang mengembalikan dompet saya beserta isinya dengan utuh.

Saya pun berkaca, mungkin bukan hanya dompet yang selama ini saya 'kecilkan' nilainya. Bisa jadi benda-benda lain, orang lain, ataupun malahan berbagai kesempatan yang sudah saya punya, sudah saya pinggirkan artinya. Masih beruntung, mereka belum hilang dan tetap bisa saya miliki. Kalau sudah hilang, saya mungkin akan menyesal dengan sangat.

Sebelum menyesal, waktunya sadar diri. Saya memang harus belajar lebih menghargai setiap hal yang melekat pada saya.