Kembali ke Jakarta, Kembali ke Kantor
Kembali ke Jakarta. Sudah 3 bulan saya kembali ke Jakarta, dan kurang lebih dua bulan balik ke kantor lagi. Masih kantor yang sama. Rasanya masih malas, tapi ada baiknya juga beraktivitas daripada nggak produktif di rumah.
Posting terakhir saya ternyata di bulan Mei 2008. Setelah hari itu banyak hal yang terjadi, mulai dari proses penyelesaian skripsi, sidang, wisuda (berikut kedatangan ibu saya ke Lund, yang ternyata sangat membahagiakan buat dia. Glad you liked it, Mom!), balik ke Jakarta, balik ke kantor, sampai sakit typhus akibat jajan sembarangan.
Banyak kejadian yang membuat saya kaget, karena semua itu terjadi dalam hitungan bulan saja. Misalnya di bulan Februari lalu saya masih struggle untuk menemukan fokus tesis saya, sekarang di bulan September saya sudah dua bulan kembali bekerja. Sungguh sekejap saja rasanya waktu sekolah saya kemarin dan kadang saya merasa tidak ada perbedaan antara sekarang dan dua tahun lalu.
Kembali ke kantor lagi cukup challenging buat saya, sama tantangannya seperti saat saya harus beradaptasi dengan dunia sekolah setelah bertahun-tahun kerja. Apalagi dengan adanya perubahan manajemen di kantor, berikut office politics-nya, saya harus beradaptasi lagi dengan dinamika kantor.
Belakangan saya terganggu dengan hubungan "saya-dia" di kantor, atau "kita-mereka". Saya pikir bentuk hubungan seperti ini harusnya sudah lama ditinggalkan, apalagi untuk pekerja agen pembangunan internasional yang menjunjung tinggi kesetaraan. Apakah establishment hubungan "saya-dia" itu penting untuk performance kerja kita? apakah pembedaan kelas penting untuk dianut oleh para staf senior yang intelek, ketika banyak orang terlanjur percaya kalau mereka sudah terbuka wawasannya dan kaya asam garam?
Lebih penting lagi, bukankah pembedaan antara "we-they" yang notabene adalah hubungan antara "donor-recipient country" harusnya ditebas dan bukan dipraktekkan oleh para "development workers" itu sendiri?
Mari kita berkontemplasi...
Posting terakhir saya ternyata di bulan Mei 2008. Setelah hari itu banyak hal yang terjadi, mulai dari proses penyelesaian skripsi, sidang, wisuda (berikut kedatangan ibu saya ke Lund, yang ternyata sangat membahagiakan buat dia. Glad you liked it, Mom!), balik ke Jakarta, balik ke kantor, sampai sakit typhus akibat jajan sembarangan.
Banyak kejadian yang membuat saya kaget, karena semua itu terjadi dalam hitungan bulan saja. Misalnya di bulan Februari lalu saya masih struggle untuk menemukan fokus tesis saya, sekarang di bulan September saya sudah dua bulan kembali bekerja. Sungguh sekejap saja rasanya waktu sekolah saya kemarin dan kadang saya merasa tidak ada perbedaan antara sekarang dan dua tahun lalu.
Kembali ke kantor lagi cukup challenging buat saya, sama tantangannya seperti saat saya harus beradaptasi dengan dunia sekolah setelah bertahun-tahun kerja. Apalagi dengan adanya perubahan manajemen di kantor, berikut office politics-nya, saya harus beradaptasi lagi dengan dinamika kantor.
Belakangan saya terganggu dengan hubungan "saya-dia" di kantor, atau "kita-mereka". Saya pikir bentuk hubungan seperti ini harusnya sudah lama ditinggalkan, apalagi untuk pekerja agen pembangunan internasional yang menjunjung tinggi kesetaraan. Apakah establishment hubungan "saya-dia" itu penting untuk performance kerja kita? apakah pembedaan kelas penting untuk dianut oleh para staf senior yang intelek, ketika banyak orang terlanjur percaya kalau mereka sudah terbuka wawasannya dan kaya asam garam?
Lebih penting lagi, bukankah pembedaan antara "we-they" yang notabene adalah hubungan antara "donor-recipient country" harusnya ditebas dan bukan dipraktekkan oleh para "development workers" itu sendiri?
Mari kita berkontemplasi...