Wednesday, March 26

Sorry again

Mom, sorry. It's snowing hard again today. Hiks.

Tuesday, March 25

The Charm of Being Old, Wise and Mature

Saya senang orang yang sudah tua. Entahlah sejak kuliah di Bandung, teman-teman tahu saya suka laki-laki tua brewokan, apalagi dengan suara bariton. Haha. Sejak pulang ke Jakarta dan kerja di kantor organisasi asing, bule-bule yang sudah berumur dan berambut putih kayaknya ganteng banget. Haha. Aneh memang. Tapi memang begitu adanya. Waktu itu.

Rasanya ada charm tersendiri ketika kita melihat orang tua yang aktif dan exist. Saya selalu kagum pada mereka. Di Hanoi, saya menikmati pemandangan dua kakek yang berjalan kaki di taman, empat kakek yang nongkrong dan ngobrol di pinggir danau, atau beberapa nenek yang senam taichi di pinggir danau sore-sore. Di sini, saya kagum pada nenek yang masih berbelanja dengan troli dorongnya di tengah tiupan angin winter. Saya juga kagum pada Ompung Ana, nenek dari pihak ayah saya, yang tetap mampu bertahan hidup bersama kami, 5 cucunya yang masing-masing punya hobi pasang musik keras, pulang pagi, pacaran dan macem-macem lagi. Benar-benar mengagumkan. Tough people memang tidak tergilas musim dan zaman...

Saya sadar sekarang, ketertarikan saya pada orang-orang tua rupanya bukanlah pada fisik mereka lagi tapi pada sikap bijaksana dan mature mereka. Saya menemukan comfort pada sosok orang-orang tua itu, kenyamanan karena merasa cukup akan hidup dan sudah melewati banyak hal: susah, senang, takut, sedih, depresi, berkarir, berkiprah. Kesan di mata saya, semua series of life sudah lewat bagi mereka dan rasanya hidup lebih ringan berjalan...

Tentu saja tidak semua orang tua itu bijak dan juga bukan hanya orang yang berumur saja yang mature dan bijak. Ada juga pribadi-pribadi belia yang mature dan dewasa. Sasha, keponakan saya, adalah satu contoh pribadi anak yang mature. Sejak dia lahir, saya belajar banyak sekali dari dia tentang menjadi berani, menjadi diri sendiri, dan berani mencoba hal baru.

Nyaman sekali bisa menemukan pribadi dewasa dan matang, apalagi ngobrol dengan mereka. Rasanya tidak ada lagi rasa takut dalam hidup. Saya belajar banyak dari mereka dan saya tahu saya akan tetap membutuhkan mereka sampai kapan pun. Selalu akan ada orang-orang yang lebih matang dan bijak dari saya, walaupun saya berumur tua nanti.. Di tengah kesulitan, saya akan cenderung mencari pribadi-pribadi itu. Pribadi yang membebaskan saya dari ketakutan dan menginspirasi saya untuk tetap berjalan dan berusaha. Walaupun sedikit, walaupun perlahan-lahan...

Monday, March 24

On Marriage

Satu lagi dari Paulo Coelho (Oh, I'm obsessed!)
------------------------------------

Just like marriage

Nadia spent the whole autumn sowing and preparing his garden. In the spring, the flowers opened, and Nadia noticed a few dandelions that he had not planted.

Nadia pulled them up. But the seeds had already spread, and others grew. He tried to find a poison that would kill only dandelions. An expert told him that any poison would end up killing all the other flowers too. In despair, Nadia sought help from a gardener.

‘It’s just like marriage,’ said the gardener. ‘Along with the good things, there are always a few inconveniences.’

‘What should I do, then?

‘Nothing. They may not be the flowers you intended to have, but they are still part of the garden.’

On Decisions

Tulisan Paulo Coelho selalu meng-inspire saya. I wonder how could he come up with such wisdom. Seperti yang saya temukan di blog beliau (www.paulocoelhoblog.com) berikut ini:

Decisions are only the beginning of something.
When someone makes a decision he is, in fact,
plunging into a powerful current
that carries him to a place
he had never even dreamed of
when he made that initial decision.
(The Alchemist)

Sunday, March 23

Questions

Bagaimana caranya kita bisa memahami hati? Berapa lama kita bisa mencapai pemahaman itu? Apa yang harus dilakukan untuk itu? Berpikirkah? Membiarkan waktu berjalan sambil menyerahkan semuanya pada Tuhan? Dimanakah ikhtiar?

"There is always a gap between when the question is posted and the answer" (Fred Armah, Coffee Break, March 2008)

Tapi.. ketika kita pikir sudah ada jawabannya, benarkah itu jawabannya? Jujurkah kita pada diri sendiri?

Tuesday, March 18

Snow for my mom






Here is today's swedish spring. Bunga-bunga sudah bermunculan tapi salju masih turun. Belakangan memang cuaca selalu gloomy, seperti biasanya cuaca di sini, tapi sudah ketahuan musim semi datang. Matahari muncul lebih lama seminggu ini dan setiap weekend rasanya suhu udara mulai menghangat. Mungkin sekitar 10 derajat. Saya kira temperatur tidak akan drop lagi. Ternyata.. saya salah

Tadi pagi saya pikir salju hanya sebentar, mungkin hanya satu jam. Tapi lagi-lagi saya salah. Sudah sehari penuh salju turun dengan konstan, bahkan sampai sekarang. Temperatur diluar hanya 1 derajat, tidak seberapa dingin dibanding daerah utara Swedia atau negara Nordic lainnya. Tapi buat saya yang katanya 'gadis tropis', tentu saja saya kedinginan. Belum lagi angin yang kencang yang menjadi notabene cuaca di Lund. Rasanya salju ini lebih dingin dari temperatur yang sebenarnya..

Tadi siang saya berjalan kaki ke kampus, demi menyeami salju. Perasaan saya tentu saja campur aduk antara senang dan gamang. Senang karena bisa mengalami swedish winter lagi, tapi di saat yang sama saya bertanya pada diri sendiri, mungkinkah ini swedish winter terakhir buat saya? Ah mudah-mudahan bukan. Pikiran saya melayang ke ibu saya yang beberapa bulan lalu berniat ingin berkunjung kemari untuk melihat salju. Tapi waktu itu saya larang karena saya tahu ibu saya tidak tahan dingin dan beliau pasti tidak bisa menikmati kota dan jalan-jalan... Lagipula, winter di Lund pas bulan Februari rasanya sudah tidak akan bersalju lagi. Jadi, ibu saya pasti hanya bisa menikmati dinginnya Swedia tanpa melihat salju..

Ternyata saya salah lagi. Sudah sebulan lebih saya di sini, sudah dua kali turun salju tebal. Dua kali juga saya menyesal karena melarang ibu saya ke sini. Rasanya saya mau mengirimkan tiket segera buatnya supaya bisa kemari mumpung salju masih ada. Rasanya saya ingin menarik kata2 saya kembali dan mendukung rencananya buat ke sini. Saya ingin mewujudkan keinginannya.

Akhirnya saya cuma bisa berjalan di bawah salju sepulang dari kampus dan mengambil gambar sebanyak-banyaknya untuk dikirim ke Jakarta. Saya tahu ketika ibu saya melihat foto-foto itu dia pasti tetap ingin melihat langsung dan memegang saljunya. Saya tahu dia pasti akan sedih dan menyayangkan rencananya yang gagal terwujud.

I'm sorry mom, thought you might not be able to go out in this cold weather. Thought snow is not gonna come again after January. Thought Lund does not have thick enough snow to enjoy and see. Sorry Mom.

Hope we can make it again sometime. Sometime when you don't have to spend big money to visit me. Sometime when I can afford to fly you here. Sometime when you can see me having a new life and be happy about it.

Let's cross our fingers.

Friday, March 7

Selamat Hari Perempuan Sedunia

Sekali lagi saya baca transkrip interview dengan beberapa perempuan desa korban perdagangan manusia di Vietnam. Sekali lagi kisah mereka menguatkan saya untuk terus berjuang menyelesaikan ini, menjadikan kisah mereka tercatat walaupun hanya di sebuah tugas sekolah.

Saya berhutang pada mereka. Berhutang atas waktu yang mereka berikan pada saya. Atas kepercayaan mereka berbagi cerita pada saya. Atas emosi dan trauma yang mereka coba kalahkan demi bisa berbagi dengan saya. Saya benar-benar berhutang pada mereka.

Mudah-mudahan apa yang saya 'ambil' dari mereka tidak menjadi sia-sia.

Terimakasih atas bantuannya, teman-temanku di Bac Giang dan An Giang. Selamat hari perempuan sedunia.

Saturday, March 1

Dompet

Saya hampir kehilangan dompet lagi. dasar ceroboh... ceroboh.. dan pikun.. Minggu lalu saya belanja kebutuhan dapur dengan teman sekoridor saya, Annika. Kami pergi ke Citi Gross, supermarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Selesai belanja saya sibuk memasukkan barang-barang ke dalam ransel saya, dan tidak sadar kalau dompet saya belum saya masukkan ke dalam ransel. Santai saja kami berjalan pulang sambil menyumpahi cuaca dingin Lund.

Malamnya di rumah ketika saya sedang beberes mempersiapkan barang yang harus saya bawa ke kampus, saya baru ingat kalau dompet itu tidak ada. Saya tanya ke Annika apa dia melihat saya memasukkan dompet ke dalam tas, jawabannya tentu saja tidak. Huh, pasti ketinggalan di Citi Gross. Kami sepakat untuk balik lagi ke sana dan bertanya pada sang kasir. Mudah-mudahan ia menyimpannya karena saya adalah orang terakhir yang ada di kasir itu sebelum mereka tutup.

Paginya saya balik ke sana, dengan perasaan setengah yakin dan setengah tidak kalau dompet saya akan disimpan. Mungkin akan disimpan sama manager tokonya, atau mungkin juga ada orang iseng dari kasir sebelah yang mencurinya. Kalau hilang, saya akan sibuk menutup rekening bank di Jakarta (dan ini akan repot sekali karena harus menelpon dari sini), dan membukanya kembali ketika saya pulang. Plus, saya juga harus membuat laporan polisi. Untung paspor saya tidak ikutan ketinggalan. Kalau iya, bisa terulang lah kerepotan waktu di Belanda tahun lalu.. Kalau urusan bank di Swedia sih, untungnya gampang, saya tinggal telepon bank dan mereka tinggal blokir saja kartu saya yang hilang, kemudian membuatnya dengan yang baru. Kartu barunya pun langsung dikirim ke rumah, saya tidak perlu menjemput dan menunjukkan surat keterangan polisi. They are so trusting here!

Akhirnya saya sampai di Citi Gross dan melapor ke customer service, dan begini percakapannya:

Saya: Hej, saya ketinggalan dompet tadi malam di Kassa 5
Customer Service: Oh, siapanya?
Saya: Nama saya?
Customer Service: iya
Saya: Gita
Customer: Oh iya, kita punya dompet kamu
Saya: Wah, terima kasih banyak!

Lega sekali rasanya. Si mbak customer service pun menelepon salah satu temannya dan bilang bahwa saya, yang punya dompet ada di bawah. Saya disuruh tunggu karena sebentar lagi dompet saya akan diantar.

Benar saja, setelaj 5 menit menunggu, akhirnya ada petugas Citi Gross yang datang dan menyerahkan dompet saya. Dia cuma bilang "Here it is" dan kembali lagi ke dalam. Tidak ada formulir yang harus saya isi. Tidak ada tanda bukti yang harus saya tunjukkan bahwa saya memang si empunya dompet. Semua berjalan seperti biasa, sepertinya mengembalikan barang yang bukan miliknya adalah satu hal yang biasa, seperti kita membayar satu botol Coca Cola di Seven Eleven. Wah, lagi-lagi saya pikir, they are so trusting! (Atau mungkin nggak ada yang bisa diambil dari dompet saya? hehehe)

Senangnya menemukan kembali dompet saya. Dompet ini sudah dua kali hampir hilang. Yang pertama di Hanoi, di salah satu restoran tempat farewell dinner saya dengan teman IOM, di malam terakhir sebelum saya pulang dan meninggalkan Vietnam. Untungnya sang manajer restoran menyimpannya, dan saya kembali ke restoran itu sebelum mereka tutup. Akhirnya saya pun bisa pulang ke Indonesia dengan selamat tanpa kehilangan apapun. Lagi-lagi, saya memang ceroboh.

Ya, saya memang ceroboh dan tidak menghargai betapa bernilainya dompet kusam saya itu. Sebenarnya, saya tahu betapa berartinya si dompet itu, mengingat berbagai kartu ATM dan ID yang memang saya butuhkan untuk bisa tinggal di sini dan bertransaksi belanja. Semua memang bisa diurus gantinya kalau hilang, tapi itu makan waktu dan tenaga. Annoying juga sih. Beruntung ada orang-orang jujur dan trusting yang mengembalikan dompet saya beserta isinya dengan utuh.

Saya pun berkaca, mungkin bukan hanya dompet yang selama ini saya 'kecilkan' nilainya. Bisa jadi benda-benda lain, orang lain, ataupun malahan berbagai kesempatan yang sudah saya punya, sudah saya pinggirkan artinya. Masih beruntung, mereka belum hilang dan tetap bisa saya miliki. Kalau sudah hilang, saya mungkin akan menyesal dengan sangat.

Sebelum menyesal, waktunya sadar diri. Saya memang harus belajar lebih menghargai setiap hal yang melekat pada saya.