Friday, January 26

January 26, 2007

Again, you were in my dream
I saw you fade away
Slowly

I know I could have stopped you from leaving
But I did not want to

Rest in Peace, Dad
See us from above
I know you are still protecting us
Upthere. Your way.

Thursday, January 25

Kegelisahan Mattias

Swedish people emang dingin. Setelah satu semester lewat, baru gue bisa ngobrol lama sama temen2 di koridor, terutama yg cowok2, karena mereka biasanya selalu cuek dan gak peduli. Beda banget sama temen koridor yang cowok yang dateng dari negara lain selain Swedia atau Nordic countries lainnya.

Malam ini gue ngobrol rada lama sama Mattias di dapur, temen kamar sebelah. Minggu2 sebelumnya sama Axel, cowok Swedish di koridor sini juga yang jarang banget ngobrol sama gue. Selama ini kita cuma ngobrol basa basi aja seputar sekolah, asal negara kita, weather, dan hal2 simpel lainnya. Malam ini kita ngobrol banyak hal mulai dari film, channel TV, foreign policy nya Amerika, bom dan terorisme, sampe masalah perbedaan antara natural science dan social science. Seru juga karena selama ini gue pikir gak bakal bisa ngobrol lama sama mereka, abis tampangnya pada dingin semua. Malam ini, setelah enam bulan, kayaknya suasana lebih cair dan at least ngobrol bisa lebih nyaman. At least ternyata mereka bisa senyum juga pas ngobrol. Hihihi..

Mattias sempet cerita tentang kebingungannya dalam menentukan identitas apakah dia orang Swedia atau Findland. Dia lahir di Swedia, besar di Swedia sejak lahir sampai sekarang, tapi Findland citizen. Kewarganegaraan Finlandia dia dapat dari ibunya yang orang Findland, yang udah migrasi ke Swedia sejak tahun 1970an dan menikah sama ayahnya yang orang Swedia. Asal Mattias dari Happaranda, satu kota kecil di perbatasan Sweden-Findland. Kota terdekat dari Happaranda adalah Torio di Findland (or something sounds like that) yg jaraknya 30 km, sementara jarak ke kota terdekat di Sweden sekitar 120 km. Di Swedia, Mattias selalu bilang bahwa dia adalah orang Findland walaupun dia sudah sangat terintegrasi dengan budaya di sini. Dia sudah pasti fasih bahasa Swedia, mukanya juga sangat tipikal bule, jadi dia sudah sangat eligible buat dibilang Swedes. Tapi Mattias selalu merasa dirinya orang Findland, sangat nasionalis untuk urusan olahraga, dan untuk hal2 yang berhubungan dengan kompetisi Sweden-Findland dia akan selalu milih Findland. Tapi masalahnya, ketika dia di Findland, dia gak merasa seperti orang Findland karena dia selalu tinggal di Swedia, dan orang2 di sana pun gak menganggap dia sebagai orang Findland. Well, what should you say? I have no clue. Intinya, dia bingung sebenarnya identitasnya itu bagaimana.

Selama diskusi panjang tentang identitas, gue juga sempet cerita kalo di kelas gue punya temen yang berdarah Iran tapi lahir dan besar di Swedia. Orang tuanya (atau kakek neneknya) imigran dari Iran. Temen ini juga sering bingung kalo harus menjelaskan asal usulnya dari mana karena dia harus menjelaskan panjang lebar karena dia gak keliatan kayak orang Swedia (baca: bule) sama sekali. Pasti lebih susah buat dia daripada Mattias. I can understand it.

Anyway, gak penting buat mencari tau siapa yang lebih sulit kondisinya. Lebih menarik buat melihat sisi gelisah dari dua orang teman ini. Mungkin ketika di Jakarta, gue gak terlalu aware dengan isu krisis identitas yang berhubungan dengan asal usul atau kenegaraan. Mungkin ada seperti misalnya isu WNI yang keturunan Cina. Tapi gue jarang bersentuhan dengan hal itu. Krisis identitas yang gue tahu selalu berhubungan dengan umur, kiprah/achievement kita selama hidup, atau malah agama. Sekali2 juga sempet tergelitik tentang krisis identitas para transeksual. Baru di sini, gue tertarik dengan kegelisahan akan asal usul atau kewarganegaraan seseorang. Gue bisa merasakan betapa gelisahnya kita ketika orang selalu salah sangka tentang identitas kita. Gak heran banyak orang yang berusaha mati2an buat pengumuman tentang asal usulnya, atau tentang kepercayaannya walaupun itu susah. Just to make sure people get it right, intinya.

Seperti barusan, gue bisa melihat betapa Mattias pengen membuat gue mengerti bahwa dia bukan orang Swedia, walaupun penjelasan yang dia kasih jadi panjang. Tapi ya memang begitu kalau kita mau orang lain mengerti seperti halnya kita mengerti. Masalahnya gak semua orang bisa mengerti, atau gak semua orang mau peduli. Karena itu gue bisa melihat kegelisahan di wajah Mattias.

Banyak orang2 gelisah seperti Mattias. Ternyata kegelisahan bukan cuma ada di negara berkembang aja.

Godnatt.

Thursday, January 18

If you can't see the finish line, that's because it's behind you!

Kebanyakan temen2 gue bilang gue suka khawatir sama hal2 yang gak perlu. Mungkin ada benernya juga, karena gue sering takut sama hal2 kecil yang sebenarnya cuma bagian kecil dari hidup, yang mungkin gak bakal kejadian juga. Tapi gue udah berusaha belajar untuk tidak terlalu paranoid tentang hal kecil and thanks to those people who have listened to my overthought worries. Juga buat orang2 yang tanpa sadar udah mengajarkan gue buat lebih relax menjalani hidup. Proverbs such as: 'Let's worry about it later', 'Panic doesn't help' atau 'Be brave!' gue dapet dari bos2 di kantor. Some wisdoms and other simple things yang seringkali bikin beban kerja gue jauh lebih ringan setelah sharing sama mereka.

I miss them. I miss those comforting words. Kali ini, ada satu hal lagi yang mengingatkan gue untuk lebih relax dan berhenti mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Daily horoscope yang gue temuin di internet. Lucu aja karena sejak di sini gue gak pernah lagi baca ramalan bintang kaya' di Indonesia (soalnya gak ngerti bahasanya. Hehe). Anyway, ramalan bintang ini bikin gue bertanya sama diri sendiri: "Have I gone too far with my confusions lately?" Hmmm.. mungkin juga. I know I have too much worries and too much "I don't know"s about things I am up to now. Apalagi sejak balik ke sekolah, rasanya semua hal yang gue temuin di sini baru semua. Walaupun satu semester udah lewat, dan so far so good, tapi tetep ada kebingungan juga kaya': nanti mau nulis tesis apa, mau ngerjain apa setelah pulang, how my personal life will be, how my family will be, how will I settle my family and work at the same time, dan banyak hal yang masih jauh banget dan gak bakal bisa gue liat ke mana arahnya sekarang.

Capek banget terus2an mengkhawatirkan atau at least berpikir tentang hal2 di atas. So I guess I dare to say: No more worries anymore. Here I am, heading to the next day without fear. :)

====

Daily Horoscope, January 18, 2007

The Bottom Line:
If you can't see the finish line, that's because it's behind you! Take a break.

In Detail:
If you can't see the finish line in the near distance, don't get frustrated -- turn around! There you'll see it, miles behind you. You have been going at such a furious clip for so long that you may very well have gone right past your original goal. You could just keep moving toward the next milestone, but the stars say it's time for you take a break. Stop this forward momentum for a while and just enjoy where you are in life -- it's a heck of a nice place!

Saturday, January 6

Pelajaran Akhir Tahun

Hej hej... Gott nytt ar (Happy New Year)... Akhirnya balik juga ke Lund tercinta setelah 2 minggu liburan ke negeri kincir angin (lagi). Hehe. Iya, kali ini mau mengulang liburan yang tertunda waktu itu, karena gak punya uang gara2 hilang tas dan paspor. Libur kali ini gue kabur dari kesepian di Lund, karena semua anak2 pada pulang kampung untuk natal dan tahun baru. Lund sepi banget pasti karena separuh penduduknya yang mahasiswa pada pergi. Termasuk gue. Hihi

Kali ini gue berhasil agak mengeksplor Belanda. Ke Amsterdam, Leiden, Volendam, Rotterdam and Den Haag (pastinya). Seru juga walaupun jalan2 sendirian karena temen2 di Den Haag pada belajar semua karena mau ujian.. Duh, gue jadi merasa jadi pelajar yang nakal karena jalan2 terus. Hihihi. Gak papalah mumpung bisa. Semester depan pasti udah sibuk deh..

Amsterdam kota yang besar banyak gedung2 tua dan cantik, tapi banyak museumnya. Ugh, bukan turis dong kalo gak ke museum, jadilah gue berkunjung ke Reijkmuseum (tempat lukisan2nya Rembrant), Rembranthuis (rumahnya si Rembrant dulu), Van Gogh Museum, Jewish Museum, Anne Frank House. Sumpah mampus gue baru sekali ini liat museum yang isinya lukisan (kecuali Jewish Museum sama Anne Frank House). Di Den Haag juga sempet ke Mauritshuis, isinya lukisan semua. Tapi dasar gue norak, gue terkagum2 dengan audio information yang dibagiin di pintu masuk museum. Ternyata kita berbekal mesin kecil seukuran kalkulator kecil, dan ada headphonenya. Jadi kita tinggal liat lukisan yang ada di depan kita, terus pencet nomer lukisan itu, maka keluarlah informasi ttg lukisan itu. Infonya biasanya tentang ciri lukisan itu, filosofi lukisannya, filosofi sang pelukis dan kepercayaan dia. Ternyata seru juga karena pelukis2 itu punya filosofi yang dalem.. Namanya juga seniman kali yah.. Gue baru tau kalo Rembrant ternyata dicurigai Jewish karena dia banyak melukis laki2 Yahudi, pernikahan orang Yahudi, atau tentang tempat ibadah orang Yahudi. Dia juga punya banyak temen Yahudi dan rumahnya dulu di daerah di mana orang2 Yahudi tinggal. Terus ada lagi pelukis Belgia namanya Breugel, ternyata dia tertarik dengan mitologi Yunani kuno. Lukisannya rata2 tentang orang2 di jaman itu. Menarik juga, gue jadi belajar dan tercengang begitu tahu cerita di balik lukisan2 itu. Gak nyangka bisa end up di berbagai museum di Belanda.

Banyak belajar lah jadinya trip kali ini. Belajar ttg pelukis2 itu, tentang kincir angin dan prinsip kerjanya (di Leiden, di Mollen Museum Van Daft -- yang pernah tinggal di Belanda, please dikoreksi yah). Walaupun ketakutan karena kincir anginnya spooky dan tangganya serem (mana gue takut ketinggian!), gue jadi belajar ternyata kincir angin itu bukan berasal dari Belanda. Bodohnya gue, gue lupa asalnya dari mana :( Yang jelas kincir angin yang dipake untuk menggiling berbagai bahan makanan menjadi tepung atau untuk menggiling tembakau. Amazed juga karena ternyata prinsip kerja kincir angin sangat sederhana. Awalnya malah terinspirasi dari orang2 jaman dulu yang suka menggiling makanan. Mungkin kalo kita di Indonesia suka ngulek bumbu masakan pake batu, itulah cikal bakal kincir angin. Hehe. Cuma bedanya kita ngulek bumbu, mereka menggiling jagung, buat dijadiin tepung. Hehehe..

Pelajaran lain yang didapat adalah tentang komik.. Gue sempet mampir di Comic Strip Museum di Brussel. maklum aja, Belgia kan negara asalnya komik2 kayak Tintin, Asterix, Lucky Luke, Smurf, Denice the Menace, dll. Tapi bukan Gita namanya kalo nggak melakukan hal bodoh. Gue gak tau kalo di Belgia mereka berbahasa Perancis (ini namanya gak culture aware! stupid me..), jadi di museum itu gue terbengong2 ngeliat perkembangan komik dari awal sampe jadi buku komik. Berbekal satu folder yang isinya keterangan singkat ttg perkembangan komik di Belgia, jadilah gue gak bisa baca komik2 yang lucu2 itu. Padahal menarik2. Banyak banget komiknya, kalo yang suka dan ngikutin perkembangan komik, pasti seneng deh... Favorit gue sih teteup Tintin dan Asterix. Ternyata di Belgia komik adalah bisnis besar. Seru juga. Dulunya konik itu cuma suplemen koran orang dewasa, dan ditujukan buat anak2. Awalnya suplemen hitam putih, terus jadi suplemen berwarna dan halamannya tebal. Setelah beberapa lama baru komik dicetak menjadi buku seukuran komik Tintin kayak sekarang. Menarik banget. Lagi2 gue terkagum2 sama komikus besar kayak Herge yang bikin Tintin. Terkagum2 dengan risetnya dia tentang satu negara ke negara lain untuk setiap edisi Tintin. It's not only about a story for kids, it has to be the truth. Hebatnya dia bisa bikin karya besar yang tahan sepanjang masa. All in all, gue juga terkagum2 sama daya khayal komikus2 itu --for making their imagination into reality (and money at the same time). Hebat banget...

Walaupun uang habis dan badan capek karena jalan kaki terus, tapi hati senang. Setelah belajar dari trip ke berbagai museum, gue merasa sangat kecil dan gak bisa berbuat apa2 (catet: bukan belum berbuat apa2, karena Rembrant dan Van Gogh udah berkarya waktu umur mereka 22 tahun. Anne Frank malah umurnya masih 12 tahun waktu dia nulis diary tentang masa pembersihan etnis Yahudi). Trip kali ini membawa semangat buat bisa berkarya seperti halnya orang2 besar yang karyanya ada di museum yang gue kunjungi. It's worth going ternyata untuk pergi ke museum. Apalagi trip ini pas di awal tahun 2007, jadi ada semangat di awal tahun buat bisa berbuat sesuatu. Mudah2an ini bukan sekedar 'another New Year's Resolution' yang gak bisa diwujudkan nantinya. Mudah2an semangatnya gak luntur begitu balik ke Lund. Gak ngeper dan merasa pengen pulang ke Indonesia ketika baca artikel yang banyak dan susah. It takes lots of guts and efforts to make a difference, I know. Wish me luck!