Monday, November 27

Happy Thanksgiving

Happy Thanksgiving everyone... Gue terkesan dengan party yang dibikin sama temen2 dari US dan Canada dalam rangka Thanksgiving, yang di rayain setiap hari Kamis terakhir di bulan November (di Amerika). Thanks to Dave, Brett, Jules, Senka, Leila, n Marissa. Partynya cuma dinner makan kalkun (diawali sama masak kalkun oleh temen2 yang udah pada duluan dateng), dan pot luck bawa side dishes sendiri2. Ada yang bawa cheese cake, ada yang bawa pumpkin pie (katanya ini desert khas Thanksgiving), ada salad, mashed potato, wedges, spring roll, doughnuts, grilled veggie, ice cream, couscous (bener gak ya tulisannya. ini semacam bulgur), everything. Gue, Tomomi dan Syafiq datang belakangan karena harus kerja kelompok dulu sambil bikin makanan juga. Kita semua cuma makan dan ngobrol2 aja selama party. Gak ada dance seperti party biasanya. Bahkan temen gue yang bawa keluarganya ke sini, David (Sr.), bawa istri dan dua anaknya yang lucu2, padahal biasanya gak mungkin buat dia bawa anak kalo party. It was so good... Suasana kali ini sangat homy dan warm. Hampir semua anak2 di kelas pada dateng, kecuali yang dari Copenhagen karena jauh...

I liked it. Buat gue yang udah uzur, kumpul2 kayak gini terasa sangat relaxing dan menyenangkan. Akhirnya setelah homesick dan kesepian yang menyiksa, ada juga sedikit kehangatan dan kebahagiaan yang gue dapat di sini. Am so thankful for that. To be more informative about Thanksgiving, here is a bit info of it yang gue search di Wikipedia:

"Thanksgiving, or Thanksgiving Day, is an annual one-day holiday to give thanks, traditionally to God, for the things one has at the close of the harvest season. In the United States, Thanksgiving is celebrated on the fourth Thursday of November, and in Canada it is celebrated on the second Monday in October. In the United Kingdom, Thanksgiving is another name for the Harvest festival, held in churches across the country on a relevant Sunday to mark the end of the local harvest, though it is not thought of as a major event (compared to Christmas or Easter) as it is in North America, where this tradition taken by early settlers became much more important.

In the United States, certain kinds of food are traditionally served at Thanksgiving meals. First and foremost, turkey is usually the featured item on any Thanksgiving feast table (so much so that Thanksgiving is sometimes referred to as "Turkey Day"). Stuffing, mashed potatoes with gravy, sweet potatoes, cranberry sauce, Indian corn, other fall vegetables, and pumpkin pie are commonly associated with Thanksgiving dinner.

On Thanksgiving Day, families and friends usually gather for a large meal or dinner, the result being that the Thanksgiving holiday weekend is one of the busiest travel periods of the year"
***
Kayaknya gak berlebihan kalo gue berucap terima kasih untuk malam ini, untuk saat ini, dan untuk kehangatan yang gue peroleh malam ini dengan teman2. Just so I remember -anytime when I get so depressed of being lonely here- that I once felt happy and be thankful for what I have here. Cheers!

Sunday, November 26

Merenung

Sudah tiga bulan gue nyampe di Swedia. Masih terasa berat proses adaptasinya. Catch up sama pelajaran, sosialisasi sama temen2, keep up dengan budayanya, bahasanya, udaranya... Urgh, it's been an exhausting process, to be honest. Tapi ya mau gimana lagi? Beginilah nasib perantau. Kata seorang teman di blognya, kalau kita mau menghadapi kesulitan dan melompati tembok 'kenyamanan', kita akan bisa belajar lebih banyak. Yah.. begitulah memang. Ini fase berikutnya dalam hidup. Chapter 29 dalam hidup gue. Enjoy.

Tiga bulan berusaha adaptasi, sepertinya udah saatnya melihat pada diri sendiri. Udah dapet apa aja ya? Nilai di kampus udah ada. Nggak impressive sih, tapi it's all I have. Udah cukup buat jadi bench mark: kalo usaha gak sungguh2, nilainya pas2an. Kalo serius dan sungguh2, pasti bisa lebih baik. Next time better lah judulnya. Temen2 udah ada, walaupun kualitasnya belom seperti temen2 di Jakarta yang udah bertahun2 kenal sama gue. Udara dingin udah biasa. Kesepian juga udah biasa. Ah, apalagi ya?

Ada satu hal yang belom sempet gue lakukan. Merenung. Di Jakarta biasanya kegiatan ini gue lakukan setiap hari, di dalam mobil. Mungkin itu akibat macetnya jalanan di Jakarta, jadi gak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukan selain merenung. Gue jadi kangen banget sama mobil gue. My B 2628 GW, kendaraan yang jauh dari mewah tapi menyimpan kemewahan yang luar biasa buat gue. Kenangannya terutama. Jalan2 sama temen2, ketawa2, ngejahilin sopir taxi, teriak2 karena putus cinta, nyanyi2, empet2an dari sore ampe pagi tanpa mandi, berantem, nangis. Lengkap semuanya. Orang lain juga pasti punya kenangan tersendiri sama mobilnya masing2 khan. It's just an ordinary thing. Tapi buat gue, mobil adalah tempat merenung. Setelah banyak peristiwa yang gue alami sehari2, di mobil lah tempat gue berkontemplasi tentang apa yang udah gue kerjakan. Keputusan2 yang gue ambil. Ketakutan2 atas pilihan2 gue. Kegagalan. Kesedihan. Kehilangan. Di dalam mobil itu juga gue banyak nangis, marah, ketawa, feeling numb, dan berbagai perasaan lainnya. Seringkali gue dapatkan kekuatan dan ketegaran pas lagi nyetir. Pokoknya kalo udah di belakang setir, rasanya gue bisa mengontrol apapun. Termasuk emosi. Padahal kenyataannya nggak juga. ;)

Di sini, setelah tiga bulan tanpa nyetir otomatis kegiatan merenung dan kontemplasi jarang gue lakukan. Apalagi tanpa disadari bersosialisasi dan beradaptasi juga cukup membuat gue lupa untuk melakukan dua hal itu. Terlebih gue takut kalau merenung malah jadi mellow dan homesick berkepanjangan. Walaupun sebenarnya tanpa merenung gue juga udah mellow dan homesick. It's in my blood. ;)

Ah, gue pengen sekali melamun dan berkontemplasi. Tanpa harus nyetir mobil juga jadilah. Gue pengen me-review tentang banyak hal yang gue lihat belakangan ini. Tentang hidup di sini.. Hidup yang baru..

Tuesday, November 21

Something to Ponder: Kajian Barat tentang Islam v. Kajian Islam tentang Kristen

Menarik sekali tulisan yang barusan gue baca di website Islam Liberal. Tulisan Ulil Abshar-Abdalla tentang concern-nya atas minimnya tulisan Islam yang simpatik terhadap ajaran kristiani. Sebenarnya Ulil menulis untuk mengenang Prof. Watt yang baru meninggal dan menulis sedikit tentang pendekatan kajian Prof. Montgomery Watt, seorang antropolog yang mengkaji Islam secara bersahabat. Ulil menulis dia menggemari karya2 Prof. Watt yang sempat bertutur di dalam bukunya What is Islam : "jika Islam berarti ketundukan kepada suatu kebenaran ultim, kepada Tuhan sebagai sumber kebenaran itu, maka anda boleh menyebut saya sebagai Muslim (tentu dalam esensi)" . Kurang lebih begitu intinya, walaupun Ulil juga nggak inget kalimat persisnya.

Islam Liberal memang menarik. Gue merasa punya ketertarikan tersendiri dengan isu2 yang dibawa Islam Liberal. I am not saying that I am a true Islam believer, gak sama sekali. Tapi karena tertantang aja dengan kompleksitas agama: antara urusan pribadi dan budaya, terutama kalau sudah terkait dengan interpretasi manusia yang beragam tentang ajaran Islam. Belum lagi kalau itu dikaitkan dengan dialog antaragama, semua jadi tambah kompleks dan sensitif. Tantangan terbesarnya adalah untuk menjadi wise dalam diskursus itu sekaligus juga tetap kritis terhadap agama orang lain maupun agama kita sendiri. Alasan kedua kenapa tertarik dengan Islam liberal adalah karena ada keterikatan emosional, gara-gara kerja di TAF, gue jadi merasa 'sok dekat' dengan Islib, dan dengan isu2 pluralisme agama. Mukanya Mbak Robin, Mas John, Pak Edy dan Mbak Lies terbayang2 di kepala gue waktu gue menulis ini.. Hehe

Oke, kembali ke tulisan Ulil. Di artikel ini Ulil juga mengungkapkan banyaknya kajian Islam yang berkembang di Barat. Walaupun awalnya kajian di sana lebih berbau polemik melawan Islam, tapi kemudian berkembang sampai sekarang menjadi usaha di Barat untuk membangun saling pengertian atas kebudayaan manusia yang beragam. Banyak juga tulisan populer tentang Islam seperti karya Karen Armstrong yang menurut Ulil mengkaji Islam dengan simpatik. Sayangnya, kajian yang simpatik tentang Islam ini tidak dibarengi dengan kajian yang juga simpatik tentang Kristen. Ulil merasa prihatin untuk ini, dan gue sepakat dengan beliau. Sangat sedikit tulisan yang berkembang tentang kristen, dan kalaupun ada, penulis kita jarang ada yang simpatik. Kalau boleh mengutip Ulil (artikel lengkap di: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1161) :

"Saya sungguh sedih melihat kontras antara dua hal ini: Sementara Barat maju dengan pesat lewat kajian tentang Islam dengan semangat yang kian simpatik, di dunia Islam sendiri nyaris tak ada perkembangan apapun berkaitan dengan usaha umat Islam untuk secara akademik mengkaji kebudayaan dan agama Kristen dengan semangat serupa.
Pada level yang sedikit populer, kontras ini kian menyedihkan. Sementara di pihak Barat lahir "penulis populer" seperti Karen Armstrong yang menulis beberapa buku yang simpatik tentang Islam dan sejarah Nabi Muhammad, di pihak Islam sendiri kita tak menemuka upaya serupa. Sementara banyak umat Islam yang riang-gembira karena melihat ada seorang mantan biarawati (yakni Armstrong) menulis dengan simpatik tentang Islam, mereka sendiri lupa bahwa dari kalangan Islam tak ada upaya yang setimpal terhadap Kristen. Saya sedih karena karya tentang Kristen dari pihak Islam yang populer di level akar rumput adalah buku-buku "polemik murahan" tulisan Ahmad Deedat dan buku-buku sejenis lainnya"

Gue setuju dengan Ulil. Kayaknya jarang ada tulisan populer dari tokoh Islam yang menulis kajian tentang Kristen. Apa kita terlalu sibuk dengan diri sendiri? Sibuk mengklarifikasi bahwa Islam bukanlah agama terorisme? Bisakah Islam mengulurkan tangan dan bersahabat dalam menjelaskan itu? Atau malah terlalu nyaman menjadi agama yang terakhir sampai lupa mengkaji agama sebelum Islam? I do not know. I am not a scholar on Islam at all. Ketertarikan tentang Islib dan interfaith dialogue juga masih di permukaan. Still lots of things to learn.. Belum selesai berkontemplasi dengan tulisan Ulil, beberapa lama kemudian gue menemukan artikel tulisan Pendeta Martin Sinaga tentang Lebaran, masih di halaman portal yang sama, di webpage Islam Liberal. Isinya kurang lebih tentang momen teologis, momen kultural, dan momen dialogis dari Lebaran. Pendeta Martin juga adalah salah satu tokoh dialog antar agama dari kalangan Kristen, dan thanks to Stella, gue jadi tahu nama beliau dan tertarik sama tulisan2nya di majalah. Lagi2 tulisan Pendeta Martin menunjukkan kajian yang simpatik tentang Islam, yang ditulis oleh seorang non Muslim. Berikut sedikit cuplikan tulisannya tentang lebaran, dan juga sedikit papaannya tentang perbedaan antropologi Islam dan Kristen paling tidak dalam hal pengertian masing2 agama tentang Adam. Sangat simpatik dan bijak. ( Untuk artikel lengkap lihat http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1157 ):

"Jelas bahwa Lebaran adalah suatu momen teologis, artinya Lebaran adalah sebentuk peristiwa iman, peristiwa yang dipercaya dan dinyatakan terkait dengan Sang Ilahi. Dalam pada itu umum kita dengar bahwa saat Lebaran yang dirayakan ialah ketibaan pada fitrah manusia itu sendiri. Sebab sejak Adam telah ditetapkan perjanjian asali, dimana Adam adalah seorang mukmin yang benar di hadapan Tuhan. Ke arah Adam yang asali itulah manusia hendak kembali. Di sini, bisa ditambahkan, “antropologi” Islam beda dengan antropologi Kristen yang memulai dengan Adam yang tercemar (St. Sunardi, 1996).

Sehingga menoleh ke yang asali menjadi tema Lebaran; sambil menyadari bahwa ternyata manusia mudah tergoda dan menyimpang. Di sinilah iman diuji, khususnya dalam puasa. Dan kalau taqwa lebih kuat, maka ia akan memenangkan ujian, dan selanjutnya merayakan fitrah dirinya yang sesungguhnya, dalam pesta Kemenangan (Idul Fitri).

Jadi memang Islam sulit memahami tema inkarnasi Kristus, sebab sebagaimana disinggung di atas, antropologi dalam Islam tidak bermula dari manusia yang tercemar atau yang jatuh, the Fall. Dalam Kristen: struktur pengalaman antropologisnya ialah kejatuhan, “negatifitas”, yang diberi nama “dosa asal Adam”. Sehingga untuk mengatasi itu semua, perlu Adam yang Baru, yang dipercaya nyata dalam inkarnasi dan diri Kristus.

Perbedaan teologis ini, menurut saya, sebenarnya bertolak dari soal dan pergulatan yang sama: bagaimana di tengah kenyataan hidup yang kompleks yang mendera manusia, masih mungkin diraih keutuhan diri. Yang satu melihatnya dalam ikhtiar kembali ke yang asali (fitrah), yang satunya lagi berharap dengan melangkah sebagai ciptaan yang baru (Kristus selaku Adam yang baru).

Dengan demikian, momen (teologis) Lebaran adalah momen yang sarat makna eksistensial khususnya bagi kaum Muslim, namun, gemanya ternyata sampai pada pergulatan jiwa kaum Kristen. Lebaran ternyata untuk semua"

Betapa Istimewanya Presiden Amerika

Curious dengan kedatangan Bush ke Jakarta, ada satu artikel ringan dan menarik tentang kedatangan Bush ke Jakarta hari ini. Dimuat di kompas.com

***

Laporan Wartawan Kompas Wisnu Nugroho A


Para pejabat bisa berkelit dengan kata-kata, tetapi fakta tetap fakta yang berbicara apa adanya, tanpa perlu diminta. Di dalam Istana Bogor, Jawa Barat, keistimewaan penyambutan kunjungan Presiden Amerika Serikat George W Bush terlihat kasat mata.

Jalan di seputar Istana Bogor yang ditutup untuk umum dijaga ketat aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan senjata dan rompi antipeluru setiap 10 meter. Gerbang Istana Bogor lebih ramai dijaga aparat TNI dengan seragam berbeda-beda.

Setiap orang yang memiliki kartu identitas harus dicek terlebih dahulu dan harus melewati dua pemindai logam. Pengecekan di dua pemindai logam ini lebih serius dari biasanya saat aparat yang sama bekerja di depan Istana Negara. Senang rasanya melihat aparat kita bekerja sedemikian serius.

Masuk Istana Bogor, yang langsung terlihat mencolok mata adalah tenda putih seluas sekitar 1.000 meter berpendingin ruangan yang dijadikan media center. Tersedia puluhan komputer dan jalur telepon untuk dipakai bersama wartawan Indonesia dan AS meskipun tempatnya dibedakan dengan sekat.

Istana Bogor yang baru selesai dicat dengan dana ratusan juta juga dipercantik di semua ruangan, terutama ruangan yang akan dipakai untuk beberapa pertemuan. Ruang Garuda tempat jamuan makan malam cantik ditata. Begitu juga Ruang Teratai dan Ruang Keluarga.

Saat jamuan, Bush yang hanya didampingi istrinya Laura dan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice akan dihibur nyanyi-nyanyian dan tarian tradisional empat daerah yaitu Jawa Barat, Aceh, Padang, dan Papua.

Ketika Bush tiba di istana Bogor menumpang mobil SUV dengan melompat seperti menunggang kuda, Presiden Yudhoyono yang beberapa menit sebelumnya sudah menunggu menyambut dengan hangat. Karena menunggu cukup lama untuk tamu istimewanya dan tidak tahu harus berbuat apa, Presiden Yudhoyono menyempatkan diri merapikan rangkaian bunga di tangga istana.

Penggunaan dana Rp 6 miliar untuk penyambutan sebetulnya sudah terang benderang memaparkan betapa istimewanya tamu negara ini. Tanpa harus membandingkan dengan dana penyambutan tamu negara lain, dana Rp 6 miliar adalah angka yang fantastis.

Namun, keistimewaan tamu negara ini terlihat juga dari senyum dan bahasa tubuh Bush. Ketika foto sesaat tiba di Istana Bogor, sambil terus tersenyum gembira, tangan kiri Bush merangkul punggung kiri Presiden Yudhoyono.

Keistimewaan tamu negara ini juga membuat para menteri yang mendampingi Presiden Yudhoyono dan mereka yang berada di lingkaran dalam harus mengantungkan kartu identitas. Pemandangan seperti ini tidak pernah terlihat sebelumnya.

Sebaliknya, tak satu pun anggota delegasi AS mengantungkan tanda identitas. Seperti kelakuan anggota delegasinya, wartawan yang dibawa tampil seenaknya dengan kaos, celana jeans, dan sepatu olah raga aneka warna. Mendapati hal ini, aparat kita tidak mampu bicara dan hilang keseriusan kerjanya.

Melanjutkan keistimewaan itu, seperti tidak mau ketinggalan, alam pun seperti turut menyambut Bush lain dari hari-hari biasa. Pukul 15.00 saat Air Force One memasuki wilayah udara Indonesia, hujan turun mengguyur Bogor. Sesaat setelah helikopter yang membawa Bush dari Bandara Halim Perdanakusuma ke GOR Pajajaran, Bogor, petir sambar-menyambar.

Saat rangkaian pertemuan dimulai pukul 16.35, hujan deras menguyur Istana Bogor. Sesekali petir sambar menyambar. Bogor ingin juga dikenang dengan keistimewaannya sebagai kota hujan.

Wednesday, November 15

The Hague Trip

I lost my bag again. This time in The Hague, just on the second day, when I wanted to start shopping in that cheap place (of course, compare to Sweden). I lost my passport (damned!), camera, and purse (with ID cards and credit cards in there). Luckily I still had my mobile with me so I could quickly block my cards.

Sisi and her friend (oops, I forgot her name) took me to the nearest police station to report. I thought the police officer would be excellent, but actually the police woman who received me was sooo slow and had no sense of emergency at all! She did not ask my details, she only asked when, where and what was the color of my bag and purse. She did not ask my nationality, my address and everything till I told her that I needed a report letter from her coz I dont live in The Hague and had to fly to Sweden in few days. She then gave me a piece of paper and asked me to write my details on it. Oh my God. What a 'smart' officer cause it took her for 1 hour to finish the report, asking to her peers about this and that, laughing and going back and forth to check things I dont even know what those were. At the same time I already blocked my cards to different banks in Indonesia. I was so dissapointed with The Netherland's public service. The way they handled cases was not impressive and I did not feel secure ever since. I even did not expect that they will investigate my report at all.

Actually I was so stupid for not realizing that not all country in Europe are as safe as Nordic countries (as far as I know Sweden and Norway). I think I over-estimated Europe cities too much that I forgot to keep stuffs carefully, cause in Lund, when you lost things, you will have it back in the next day (someone who found it will return it to you right away). I remember this 'lagom' principle that Swedish people have which more or less means: everything is for everyone's good and for the sake of fairness. So it's almost 100% sure that you will not lose your things if you forget things in a store, or even if you leave your purse next to you when you tried on a jacket by a mirror at H&M shop... Well, anyway...

So I could not enjoy my trip in Netherland though I tried.. I could not eat as much Indonesian food as possible (thanks to Herni who brought me to an Indo resto), could not shop bumbu2 masak, and could not go anywhere... But still, as wisemen say, every cloud has a silver lining. My friends borrowed me money and they paid for my meals (hehehe..). My relatives gave me (again) cash, so I could still meet up Ono and went to Egmond aan Zee with him. I still could make the most of my trip. Yeah, it was the most I could do. Really.

Now I know what "make the most of 'something' " is. I did treat all I had more wisely in the Netherland. I treated all cash I had pretty wisely, I guess -- did not spend them for unnecessary stuffs. I also treated time and friendship better since I had more time at home to chat. I did enjoy the company with my old friends and family, just to sit, walk and talk together. I missed that since I got to Lund and there I gained the warmth from familiar faces again. I really miss you guys... I also now appreciate life in Sweden better -- before I got so lonely and homesick. After that stupid loss in Netherland, I can feel Sweden as a place to go home to, as it is safer and the people are much nicer.

Anyway, though disappointed and tired, I had a nice time with familiar faces in The Hague. Overall it gave a sweet meaning to an unnecessary loss. Da!