Hidup Bagaikan Mimpi: Renungan Seorang Mahasiswa
Hidup ini seperti mimpi. Maksudnya, hidup saya sekarang seperti mimpi. Saya tidak pernah membayangkan akan bisa berlebaran dengan keluarga selama saya sekolah lagi. Keberangkatan saya tahun lalu ke Swedia untuk 2 tahun mempersiapkan saya dengan perasaan homesick dan harapan yang kosong tentang bertemu keluarga di saat lebaran. Apalagi bertemu dengan teman-teman.
Tapi ternyata saya tidak harus homesick terlalu lama. Selama tahun pertama di Swedia, saya sempat menyambangi teman saya yang travel ke Eropa untuk urusan kantor. Saya juga sempat berkunjung ke tempat saudara dari pihak ayah di Den Haag. Kakak saya malah sempat berkunjung ke Lund, dan menginap di kamar saya. Rasanya seperti mimpi bisa bertemu dengan mereka di tempat yang berbeda. Rasanya saya juga tidak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada teman dan wajah-wajah familiar yang saya temui, walaupun tidak sering.
Tahun ini, saya malah lebih beruntung lagi. Saya sempat pulang ke Jakarta sebelum penelitian di Hanoi. Dua bulan di Jakarta, lumayan mengisi hati dan pikiran saya yang selama ini rindu kampung halaman, orangtua, saudara, teman, dan pacar (hehe). Berangkat ke Hanoi bulan Agustus, saya tidak pernah terpikir akan pulang atau keluar Vietnam karena saya hanya akan tinggal selama 4 bulan di sini, dan kembali ke Jakarta bulan Desember. Rasanya rasa rindu bisa ditahan lah. Ternyata, saya malah punya kesempatan buat berlebaran dengan keluarga di Singapore selama seminggu, dengan ibu dan keluarga kakak saya. Gak pernah disangka saya bisa berlebaran dengan Sasha, si kecil yang badannya sama sekali tidak kecil. Dan di Singapore juga saya bertemu Sahar, teman sekelas di Swedia yang sedang libur ke Singapore. Sebenarnya Sahar sedang penelitian di India, sama seperti saya yang juga penelitian di Vietnam, tapi dia berlibur ke Singapore mengunjungi temannya dari Swedia juga. Benar-benar seperti mimpi, saya bisa bertemu dengan teman dari Swedia dan mempertemukannya dengan keluarga saya. Tidak pernah terpikir sebelumnya dunia bisa begitu menciut sehingga seluruh isinya bisa bertemu di satu tempat yang sungguh tidak terduga.
Setelah lebaran, rasanya belum habis juga kesempatan bagi saya bertemu dengan wajah familiar. Ratna, teman saya keja waktu di TAF, berkunjung ke Hanoi selama seminggu, dan kita sempat travel ke Ha Long Bay. Ke Ha Long Bay kami travel dengan dua teman saya satu rumah (dan sekaligus teman sekelas dari Swedia juga), Dave dan Sofia. Lagi-lagi, rasanya seperti mimpi bisa berada di Ha Long Bay, bersama Ratna, dan teman-teman sekelas saya. Di Ha Long Bay, kami menginap di atas perahu yang cruising semalaman. Di luar pemandangannya adalah pulau-pulau atol yang tinggi, udara yang panas tapi berkabut, dan alunan musik jazz dari saxofon yang dimainkan oleh salah satu penumpang kapal. Benar-benar seperti mimpi. What a perfect dream, I must say.
Dari Ha Long Bay, saya dan Ratna lanjut ke Ho Chi Minh selama 3 hari, menginap di rumah saudaranya Ratna. Awalnya sungkan, tapi kelamaan kebiasaan juga. Hehe. Thanks berat Ratna, I had a good time with you! Beberapa jam terakhir di Ho Chi Minh, sebelum kami berangkat ke bandara dan pisah di sana (Ratna terbang ke Singapore dan Jakarta, saya terbang ke Hanoi), lagi-lagi saya merasa berat. Rasanya gak percaya bertemu Ratna, setelah bercerita panjang lebartentang hidup kami dan teman2 kami, tapi kemudian harus berpisah dengannya. Sama beratnya seperti saya harus berpisah dengan Sasha di Singapore setelah seminggu bermain electone sama-sama. Sedih ketika dia bilang "I'm gonna miss you Tante Gita..". To add into that, sama juga beratnya ketika saya harus meninggalkan Jakarta sebelum berangkat ke Hanoi dan berpisah dengan sang kekasih. Tapi anyway, perpisahan sementara seperti kemarin jauh lebih baik darpada saya tidak bertemu dengan mereka sama sekali. I was blessed, really, that I can be with them only for a short while.
Kembali ke Hanoi, masih ada tugas yang harus saya selesaikan, karena dealine sudah menunggu. Saya berusaha menyelesaikan tugas yang tersisa, walaupun saya tahu, hasilnya tidak akan sempurna. Saya mengorbankan waktu belajar dan mengerjakan tugas untuk berlebaran dan travelling dengan teman saya. Tapi biarlah, saya senang karena pertemuan saya dengan keluarga dan juga dengan teman saya punya makna yang berkualitas. Saya bisa menikmati kebersamaan dengan mereka jauh lebih baik daripada ketika saya berada di Jakarta.
Rasanya benar kalo ada yang bilang hidup ini seperti mimpi. Saya bersyukur sempat melihat mimpi itu. Terima kasih Tuhan, untuk tetap memompa semangat dan pikiranku selama berada jauh dari orang-orang tercinta. Selalu ada cara yang tidak terduga untuk mempertemukanku dengan mereka, dan sekaligus meringankan bebanku...
Saya harusnya bersyukur dan lebih fokus belakar sekarang, karena beban sudah banyak berkurang. O yeah, I'd better be.